“Hanya dengan hati, seseorang dapat melihat yang
benar; apa yang penting adalah apa yang tidak terlihat oleh mata”
Antoine de Saint-Exupery
Sonia. Namanya
singkat dan sederhana sekali, hanya satu suku kata saja. Berbeda dengan
kebanyakan teman-teman seangkatan kami, yang punya nama minimal dua suku kata.
Bahkan sejak lima tahun belakangan ini, sudah menjadi trend di kalangan
orangtua muda, memberikan nama anaknya minimal tiga suku kata. Kebayang aja, sepuluh atau duapuluh tahun
lagi, trend nama anak bisa jadi lima bahkan enam suku kata ya? Hehehe….
Sonia punya
kakak perempuan bernama Sarah dan adik laki-laki bernama Farhan. Ya, memang
orangtua mereka sederhana sekali memberikan nama pada anak-anaknya. Yang penting
mudah diingat dan tetap terkesan nama orang kota.
Sonia adalah
teman kuliah saya di jurusan Teknik Elektro, sedangkan kak Sarah kuliah di
jurusan Teknik Lingkungan, satu angkatan diatas kami. Sejak awal saya kenal
Sonia dan kak Sarah, saya selalu kagum dengan mereka dan orangtuanya. Jauh
sebelum trend hijabers yang marak saat ini, mereka sudah berhijab sesuai
syar’i, juga beberapa teman seangkatan saya yang lainnya, sehingga saya pun
ketularan mengganti celana jeans dengan rok panjang, baju kaos dengan baju
longgar dan jilbab gaul dengan jilbab menutup dada.
Jujur aja,
selama kuliah, saya merasa baru menemukan dan mengenal agama Islam. Saya memang
sudah bisa mengaji dan sholat sejak kecil karena saya lahir dari orangtua yang
keduanya muslim. Bisa dibilang, saya mengenal Islam dari kebiasaan dalam
keluarga, bukan dari hasil proses pencarian Tuhan.
Dan saat kuliah
itulah, saya tidak hanya berproses mencari jati diri, tapi lebih dalam lagi,
saya mencari Tuhan. Teman dan lingkungan kampus sangat mendukung saya dalam
proses mencari Tuhan. Saya ikut dalam kelompok liqo’ mingguan dengan teman
muslimah yang seangkatan, kegiatan forum Annisa tiap Jumat siang, saya kenal
dengan nasyid, buku-buku Islam bahkan pernah saya mencicipi buku perbandingan
agama dan dialog jin dan manusia. Dari semua hasil diskusi, pertanyaan kritis,
muhasabah dan pergaulan dengan orang-orang yang saya kenal, saya menemukan
semua jawabannya dalam Islam.
Ditengah
pergumulan bathin mencari Tuhan dan kesibukan kuliah, hati saya mantap memilih
Islam. Entahlah, tiba-tiba saja keyakinan itu hadir dalam hati, perlahan-lahan
namun semakin kuat. Saya kembali melafadzkan Syahadat dengan sepenuh hati,
sebagaimana layaknya seorang mualaf. Beberapa tahun sebelumnya, saat pesantren
kilat di SMP, guru agama saya pernah mengajak kami semua dengan sadar,
mengucapkan kalimat Syahadat, dan hasilnya dengan kesadaran sendiri, saya
memutuskan berjilbab, walopun belum sempurna berhijab.
Selain tentang
berhijab, hal lain yang saya pelajari dari Sonia dan keluarganya adalah tentang
perjuangan hidup untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.
orangtuanya bukanlah pegawai berpenghasilan tetap. Tiap dua minggu sekali,
Sonia dan kak Sarah bergantian pulang kampung. Selain untuk bertemu orangtua,
mereka juga sekalian mengambil uang untuk biaya hidup dan biaya kuliah, juga
mengambil beras untuk makan selama tinggal di kosan. Pernah suatu waktu saya
main ke kosan Sonia saat dia baru tiba dari kampung, saya melihat Sonia
mengeluarkan satu kantung plastik uang receh, ya benar uang receh! Saya
tertegun, uang receh sebanyak itu adalah untuk menambah biaya hidup mereka
selama dua minggu kedepan.
Kak Sarah adalah
sosok akhwat yang cerdas dan supel, tak heran banyak yang naksir sewaktu
kuliah. Namun kak Sarah teguh pada prinsipnya untuk tidak pacaran hingga halal
atau setelah menikah. Lagipula kak Sarah ini tipe study-holic, kemana-mana ga
lepas dari buku dan diktat kuliah. Beda dengan Sonia yang lebih rajin mengurus
kebutuhan sehari-hari seperti memasak, mencuci dan bersih-bersih di kosan.
Pernah suatu
waktu menjelang akhir masa kuliah kami, Sonia bercerita. Dia kenal seorang
laki-laki saat Kerja Praktek (KP) di PT. Epson Batam. Sebutlah namanya Dino.
Mas Dino ini adalah karyawan PT. Epson Batam yang menjadi pembimbing KP. Tiap
hari bertemu selama tiga bulan disana membuat benih-benih rasa suka diantara
mereka. Setelah Sonia selesai KP, mas Dino masih sering telpon dan sms. Hingga
Sonia memutuskan untuk menceritakan kepada orangtuanya. “Jika memang serius,
datanglah ke rumah”, demikian pesan orangtuanya. Sonia pun menyampaikan hal
tersebut kepada mas Dino. Ternyata respon mas Dino, dia belum siap ketemua
orangtua Sonia, mas Dino pengennya mereka pendekatan dulu, komunikasi lewat
telpon dan sms dulu. Wah seperti orang pacaran donk! Dengan halus Sonia
memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka jika memang tidak jelas
tujuannya.
Setelah lulus
kuliah kami berpisah. Walaupun masing-masing sibuk dengan perjuangan mencari
pekerjaan dan rencana masa depan, kami masih keep in touch via sms, telpon dan
e-mail. Beberapa tahun kemudian saya mendapat kabar Sonia akan menikah, dengan
laki-laki pilihan hatinya yang dia kenal selama menjadi management trainee di
sebuah perusahaan swasta. Sayang saya tidak bisa hadir saat itu karena bentrok
dengan jadwal cuti bersama adik-adik saya. Tapi dengan tulus saya mengirimkan
doa sepenuh hati untuk sahabat saya ini, yang cantik paras dan hatinya. Dia
sempat cerita melalu e-mail, bahwa prosesnya dengan sang calon suami tidak
melalui pacaran, dari temenan hingga kesepakatan serius untuk menikah. Walaupun
sempat ada sedikit hambatan dari keluarga calon suami yang masih belum familiar
dengan wanita berhijab, namun karena Sonia dan calon suami sama-sama sudah
sepakat, akhirnya keluarga luluh juga. Dari milis angkatan, saya melihat
foto-foto pernikahan Sonia dan Roni, sang suami. Mereka terlihat bahagia dan
serasi sekali, cantik dan tampan ujar saya dalam hati.
Dari awal saya
kenal, Sonia tidak banyak berubah. Simple, istiqomah, tidak suka nonton film ke
bioskop karena risih dengan film barat yang mengumbar aurat, tidak suka
ikut-ikutan social network kayak Facebook karena lebih suka yang riil aja
katanya. Setelah menikah, saya sempat ketemu dengan Sonia dan suaminya di
Jakarta, saat saya hendak menghadiri pernikahan teman kantor. Mereka benar-benar
pasangan yang serasi, kompak dan bahagia! Saat itu saya sempat ngobrol dengan
Sonia. Dia selalu bisa memberikan nasihat yang sederhana namun menenangkan
hati.
Hampir setahun
saya tidak bertukar-kabar dengan Sonia, tiba-tiba kak Sarah nge-tag foto di
Facebook. Ternyata Sonia sudah melahirkan, seorang putri yang cantik bernama
Maura. Oia, kak Sarah sendiri sudah menikah dengan bang Dika, sesama dosen di
almamater kami.
Saya memandangi
foto cantik Maura, betapa hidup Sonia sekarang sudah jauh lebih bahagia dengan
keluarga kecilnya. Sonia yang sederhana, yang teguh pada prinsip dan keyakinan,
istiqomah di jalan-Nya, sudah berhasil melewati fase siklus kehidupan:
lahir-besar-sekolah-kuliah-kerja-menikah-melahirkan-mengasuh anak. Pengalaman
hidupnya telah banyak mengajarkan sejatinya keluarga yang bahagia; dimana saya
saat ini hanya mampu belajar dari buku, seminar dan mendengar pengalaman hidup
orang lain.
Ya, silaturahmi
saya beberapa hari yang lalu ke rumah kontrakan Sonia di daerah Jakarta Selatan
kembali mengetuk-ngetuk bilik hati saya. Kesederhanaan menyergap saya sejak
mulai masuk gang ke rumah kontrakan Sonia dan suami. Masuk kedalam rumah, saya
seperti merasakan kembali suasana rumah kos dulu waktu masih kuliah, dan juga
rumah terakhir yang saya adik-adik tempati sebelum mamak meninggal.
Sonia dan suami
masih terlihat sama saat terakhir saya bertemu mereka berdua, serasi, kompak
dan bahagia. Hanya Sonia terlihat agak lelah, karena tiap malam harus terjaga
karena menyusui dan mengganti popok Maura, katanya. Saya juga bertemu dengan
mamanya Sonia, yang sudah empat bulan di Jakarta sambil menemani Maura di rumah
saat Sonia dan suaminya bekerja. Mama masih cantik seperti dulu, hanya raut
lelahnya berjuang hidup dan sisa-sisa perjuangan melawan stroke wajah beberapa
tahun silam masih terlihat jelas. Mama yang dulu selalu riang bercerita,
sekarang agak pendiam, mungkin karena sisa-sisa stroke yang membuat beberapa
syaraf agak kurang nyaman jika digerakkan untuk berbicara.
Malam itu saya
memutuskan menginap dirumah kontrakan Sonia. Awalnya saya agak ragu
menyampaikan keinginan numpang nginap dirumah kontrakannya, khawatir jadi
merepotkan. Tapi ternyata Sonia malah menawarkan menginap, tentu saja dengan
senang hati saya terima. Bukan karena berpikir ingin mendapatkan tumpangan
menginap gratis. Tapi bagi saya yang terbiasa tinggal di camp (asrama-red),
dimana tiap orang tidur dikamar masing-masing dan jarang berinteraksi satu sama
lain, bisa merasakan tidur dirumah itu rasanya bahagia sekali.
Kami makan malam bersama dengan menu rumahan, sayur bening wortel, lele
sambel ijo dan ikan asam padeh. Ditutup dengan dessert kolak ubi,
hmm....nikmatnya. Saya tidur di ruang depan bersama Mama, yang sekaligus
merangkap ruang tamu dan ruang makan. Sonia, Roni dan Maura tidur di ruang
belakang yang disulap jadi kamar dengan susunan lemari dan gorden. Saya
langsung tertidur pulas, dan terbangun jam 2 pagi karena harus siap-siap
berangkat ke bandara.
Sepanjang perjalanan pulang dari Jakarta – Balikpapan – Sangatta, saya
banyak merenung dan belajar tentang keluarga bahagia dari Sonia dan Roni. Saya teringat kembali kepingan memori curhat saya bersama Sonia.
Sonia bercerita
bagaimana prosesnya dengan suaminya hingga menikah. Dari awal, selama proses
ta’aruf, mereka saling jujur dan terbuka satu sama lain. Semua hal yang penting
dalam pernikahan selalu dibicarakan bersama dan disepakati bersama, misalnya
tentang keuangan, rujukan saat konflik, rencana tempat tinggal, hal yang
disukai dan tidak disukai, dan hal-hal yang dirasa penting lainnya. Bisa
dibilang proses yang mereka lalui cepat dan jelas, namun tidak terburu-buru.
Walaupun sempat dapat ganjalan dari orangtua Roni, tapi karena mereka berdua
kompak menjelaskan dan meyakinkan kepada orangtua Roni, akhirnya khitbah, akad
dan resepsi bisa berlangsung dengan lancar.
“Proses kami
cepat banget”, ujar Sonia memulai cerita saat itu.
“Pas semasa MT
(management trainee-red) kami ndak ada ngomong-ngomong (ngobrol-red), paling
sekedar satu kelas bareng. Setelah terpisah sekian tahun, angkatan MT kami
tetap keep in touch via e-mail. Kebetulan ada yang aku ingin tanyakan ke dia
mengenai kerjaan, jadi aku e-mail dia. Trus dia nanya kabarku, aku juga tanya
kabarnya. Basa-basi aku tanya dia kapan mau baralek (nikah-red), biar ntar
kubantuin masak rendang”, Sonia tertawa renyah menceritakan kembali kisahnya.
“Roni bilang,
dia udah pengen nikah, dia suka sama seseorang, trus dia sebut ciri-cirinya.
Dengan pede-nya aja aku tanya balik, itu aku ya? Hahaha…”, Sonia kembali
tertawa.
“Roni bilang
iya, kamu mau ga? Aku tanya balik, kapan mau nikahnya? Roni jawab November
tahun ini”
Sambil membenahi
jilbabnya, Sonia melanjutkan ceritanya,
“Aku tidak
langsung menjawab, tapi aku meminta waktu dua minggu kepada Roni. Selama dua
minggu itu, aku bertanya banyak hal kepada Roni, tentang pandangannya terhadap
sesuatu atau contoh kasus yang bisa menggambarkan cara dia menanggapi sesuatu.
Aku juga sampaikan segala kekuranganku dan bertanya apa kekurangan dan
karakternya yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah dua minggu aku jawab ajakan
nikahnya Roni, aku tanya kapan dia mau melamarku. Roni bilang bulan Januari dia
akan ke rumahku untuk berkenalan dengan keluargaku, kemudian bulan Mei lamaran
dan bulan November nikah”, Sonia berhenti sejenak.
“Jelas sekali
rencananya ya?”, ujarku.
“Iya, karena aku
meminta rencana yang jelas dan detail dari dia. Selama masa ta’aruf itu, kami
sudah membicarakan mengenai banyak hal…mau tinggal dimana, mau bina keluarga
seperti apa, kalo bertengkar rujukannya kemana…akhirnya kami sepakat semuanya
balik ke Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan kalo beda cara tentang sesuatu,
itu penting sekali! Pas ta’aruf harus detail rencananya, jangan ampe ga jelas,
ntar menunggu sia-sia jadinya”, Sonia dengan semangat menjelaskan kepadaku yang
dengan khusyuk menyimak ceritanya.
“Insya Allah
kalo sama-sama sepakat dengan rujukan Al Qur’an dan Hadist, jauh lebih gampang
ntar. Soalnya fitrah kita tuh sesuai dengan isi Al Qur’an dan Hadist
sebenernya”, Sonia menambahkan.
“Dulu Roni hobi
nonton film di bioskop, gila belanja dan teman-temannya cewek-cewek semua.
Selama dua minggu itu, aku tanya ke teman lain sifat-sifat dia. Teman yang
bilang hal yang sama tentang gaya hidup Roni itu. Teman-teman malah balik
bertanya, apakah aku akan sanggup dengan gaya hidup dia yang jauh berbeda?
Namun, selama aku kenal dengan Roni, ada kelebihannya yang aku perhatikan,
yaitu sholatnya terjaga dan rendah hati serta perhatian ke agama. Akhirnya aku
tekankan ke Roni, aku tidak suka nonton ke bioskop apalagi film barat yang
mengumbar aurat serta pemborosan waktu, dan ternyata Roni setuju dengan
permintaanku. Begitu juga dengan uang belanja, seluruhnya tanggungjawab suami,
uang istri tidak disentuh kecuali kalo kepepet. Juga masalah teman-teman
wanitanya, aku meminta Roni membatasi pergaulan yang terlalu akrab karena hukum
khalwat dan ikhtilat dalam Islam. Alhamdulillah, Roni bisa menyetujui
permintaanku itu. Kalo sama-sama sepakat dengan rujukan agama, insya Allah akan
mudah…sampai sekarang Roni masih bertahan dengan komitmennya dulu,
Alhamdulillah….”, Sonia tersenyum.
“Kalo kita nikahnya dengan dasar
menjalankan agama, insya Allah bahagia. Meskipun pasangan kita tidak sebaik
yang kita harapkan, tapi kalo sama-sama mau berpegang pada agama, akhirnya
bathin kita dan pasangan juga akan menyatu. Soalnya fitrah kita sebagai wanita,
selalu menuntut suami bisa menjalankan agama dengan baik. Kalo ga, bisa makan
hati ntar. Karena wanita ini sensitif, sementara laki-laki cenderung pake
logika. Tapi kalo suami tau agama dan patuh, mereka akan mengerti konsep bahwa
orang-orang terbaik diantara kamu adalah yang paling baik memperlakukan
keluarganya”, imbuhnya sambil menyitir salah satu hadist Rasulullah SAW.
“Akhlak pasangan, visi dan misi yang
sejalan itu penting dalam pernikahan. Ntar kita dituntut jadi istri sholehah,
ya bakalan sulit kalo suaminya bukan suami sholeh juga. Kecuali benar-benar
wanita penyabar yang ridho dan kita belum sampai disitu kayaknya hehehe”, Sonia
terkekeh.
“Dalam pernikahan, uang itu memang penting.
Tapi pentingnya uang itu, sebanyak memenuhi kebutuhan hidup, dan kebutuhan
hidup itu tergantung gaya hidup kita juga loh…Tampang ganteng sama sekali ga
penting, yang normal dan wajar ajalah. Kalo dah serumah, jelek-jeleknya kita
akan sama-sama keliatan kok dua-duanya hehehe….jadi udah ga merhatiin lagi
ganteng ato ga, cantik ato ga, karena udah saling menyayangi”
Sonia menangkap tatapanku yang penuh harap
saat mendengar dia bercerita,
“Insya Allah ada jodoh Gadis….sabar
aja….yang penting usaha. Gadis udah memilih jalan yang benar dengan tidak
pacaran, semoga Allah membalas niat baik Gadis, karena itu demi membangun
keluarga Islami juga kan?”, Sonia menatapku sambil tersenyum.
“iya, aku yakin jodoh tidak akan tertukar.
Tinggal gimana cara menjemputnya, mau dengan cara yang halal atau haram, akan
beda berkahnya…gitu kan?”, ujarku membalas senyum Sonia.
0 comments:
Post a Comment