“Age is an issue of mind over matter, if you don’t
mind, it doesn’t matter”
Mark Twain
Alhamdulillah,
hari ini bertambah lagi usiaku, berkurang pula jatah hidupku di dunia ini. Momen
ulang tahun ini adalah momen yang unik, karena disaat yang sama, kita harus
banyak bersyukur karena Allah masih mengizinkan kita hidup hingga bertambahnya
usia, dan juga harus banyak bertaubat karena kita semakin dekat dengan kematian
yang sudah pasti akan datang pada setiap mahluk yang bernyawa.
Setiap masa,
setiap usia, punya caranya sendiri ketika merayakan hari ulang tahun….
Ulang Tahun Masa Kanak-kanak
Masa kanak-kanak
identik dengan bermain, bernyanyi, ceria dan tertawa. Tak heran jika pesta
ulang tahun mereka tidak jauh dari pakem: kue ultah, balon warna-warni, badut
dan MC yang lucu, baju ultah ala pangeran, putri, atau tokoh jagoan, kado yang
lucu, nyanyi bareng, tiup lilin, goodie bag yang isinya bermacam permen,
coklat, snack cemilan anak-anak, susu. Semuanya hanya untuk merayakan
kegembiraan hari ulang tahun.
Beberapa
orangtua ada yang cukup bijak mengundang anak yatim dari panti asuhan atau
tetangga yang kurang mampu untuk ikut hadir dalam kegembiraan hari ulang tahun
anaknya. Namun tidak sedikit pula orangtua yang menjadikan pesta ulang tahun
anaknya sebagai ajang pamer atau adu gengsi. Pesta ulang tahun anak dirayakan
di hotel berbintang, di gedung mewah atau di restoran ternama. Atau yang paling
“sederhana” adalah di restoran siap saji yang memang menyediakan paket dan
tempat khusus untuk ulang tahun anak-anak.
Ga salah sih
jika pesta ulang tahun anak dirayakan layaknya pesta perkawinan, asalkan
orangtuanya mampu dan tidak memaksakan diri. Hanya mungkin jangan lupa, anak
juga perlu dididik sedini mungkin tentang sejatinya ulang tahun itu.
Bagi orangtua,
momen ulang tahun anak bisa dijadikan saat evaluasi, apakah pertumbuhan anak
sudah sesuai dengan usianya, sudah seberapa jauh perkembangan anaknya, apakah
cara mendidik anak selama ini sudah sesuai dengan kebutuhan anak. Yang
ditekankan disini adalah pentingnya mendidik anak sesuai dengan kebutuhannya,
bukan sesuai dengan keinginan orangtua, karena tidak sedikit orangtua yang
sudah mengarahkan anaknya sejak kecil sesuai dengan ambisi orangtua.
“Horeee….adek ulang
tahun hari ini! Yuk ucapkan Alhamdu…lillaah”
“Adek ultah ya
hari ini? Umur adek nambah donk ya…berarti adek tambah besar nih”
“Adek udah besar
nih, udah bisa mandi sendiri donk…udah bisa makan sendiri donk…udah bisa bobok
sendiri donk….hebaaat!!”
Bagi anak, momen
ulang tahun bisa dijadikan momen untuk memupuk rasa percaya diri anak, bahwa
dia sudah besar, sudah bisa melakukan aktivitas yang sebelumnya dia belum
mampu, atau bisa dijadikan momen untuk memberikan apresiasi terhadap prestasi
atau perkembangan anak, misalnya selama setahun terakhir ini anak sudah bisa
makan sendiri, maka pas ulang tahun anak diberi hadiah satu set peralatan makan
anak yang baru.
Saya dan
adik-adik, karena keterbatasan ekonomi keluarga, hampir tidak pernah merayakan
ulang tahun. Seingat saya, pernah sekali dulu saat saya masih duduk di bangku
SD, saat saya ulang tahun (saya lupa ulang tahun yang keberapa) Mamak
membuatkan kue bolu dan krim warna hijau untuk dihias ke kue bolu tersebut.
Kemudian saya disuruh memanggil teman-teman sekolah dan tetangga serta anak
yatim untuk datang ke rumah. Mamak juga memasakkan nasi goreng untuk kami makan
bersama. Saya duduk diatas kursi di ruang tengah dengan “kue ultah” berwarna
hijau diatas meja di depan saya. Teman-teman yang datang duduk mengisi ruang tengah
rumah saya tersebut sambil sama-sama makan nasi goreng. Tidak ada balon
warna-warni, tidak ada badut dan MC yang lucu, tidak ada goodie bag dan tidak
ada kado. Sederhana dan lucu sekali ya pesta ulang tahun saya hehehe….Tapi
seingat saya, pernah beberapa kali pas ulang tahun saya, Bapak memberikan
hadiah atas prestasi saya karena selalu juara kelas.
Ulang Tahun ke-17
Masa muda paling
indah dan penuh kenangan itu adalah saat SMU, demikian kebanyakan orang
berpendapat. Usia 17 tahun rata-rata anak masih duduk di kelas 2 atau 3 SMU.
Selalu banyak cerita yang dikenang dari masa SMU. Tentang jatuh cinta, patah
hati, rebutan gebetan atau pacar, geng bolos sekolah, geng gaul, juara
kompetisi antar sekolah, idola basket, cewek-cewek chearleaders, anak-anak
OSIS, dan aneka pernik cerita lainnya.
Selain di usia
17 tahun udah bisa punya Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang secara hukum
Indonesia menandakan anak telah menjadi dewasa, banyak orangtua juga yang
mewanti-wanti anaknya baru boleh pacaran kalo udah usia 17 tahun. Sehingga tak
heran jika menjelang ulang tahun yang ke-17, banyak yang berlomba-lomba dan
memasang target pengen tiup lilin kue ulang tahun yang ke-17 dengan didampingi
pacar. Bahkan ada yang menjadikan pesta ulang tahun ke-17 sebagai momen untuk
“nembak” gebetannya. Yah begitulah riuh-rendah kegembiraan ulang tahun ke-17.
Masing-masing punya cerita dan keunikannya sendiri merayakan ulang tahun ke-17,
begitupun dengan saya.
Ulang tahun saya
yang ke-17 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Saat itu kami sekeluarga
sedang libur lebaran Idul Fitri di Palembang. Saking asyiknya merayakan lebaran
bersama-sama saudara yang jarang bertemu, saya sampai lupa kalo hari itu adalah
hari ulang tahun saya. Hingga sore menjelang malam, Bapak dan Mamak mendekati
saya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun. Tanpa pesta ulang tahun dan
tanpa pacar. Bapak hanya memberikan uang jajan lebih untuk menambah pundi-pundi
tabungan saya.
Beberapa tahun
sebelumnya, pernah ada orang yang bilang ke saya bahwa saat saya berusia 17
tahun nanti saya akan mengalami cobaan hidup yang berat. Yang jelas saat itu
saya bukan sedang datang ke peramal loh ya. Saya juga lupa siapa orang
tersebut, entah saudara atau temannya orangtua saya. Dan entah kebetulan juga,
tebakan orang tersebut benar. Enam bulan setelah ulang tahun saya yang ke-17,
Bapak meninggal dunia.
Bagi saya, Bapak
adalah panutan dan motivator hebat saya, selain kakek (bapaknya Mamak).
Walaupun Bapak mendidik saya dengan keras dan disiplin, namun itu justru membuat
saya berani bermimpi ingin kuliah setinggi-tingginya, melebihi beliau yang
hanya sarjana muda. Namun wafatnya Bapak membuat masa depan saya mendadak
menjadi gelap, sebab Bapak adalah tulang punggung keluarga sementara Mamak
hanya ibu rumahtangga. Saat itu saya merasa limbung, pegangan hidup saya lepas.
Wafatnya Bapak
bertepatan dengan seminggu menjelang ujian kenaikan kelas. Tiap saya bangun
malam untuk belajar, airmata saya tak henti-hentinya berlinang. Saya selalu
teringat beliau yang sering menegur saya jika belajar hingga larut malam sampai
lupa tidur. Alhamdulillah saya bisa lulus ujian kenaikan kelas dan tetap
rangking 1 di kelas, walaupun sempat saya dengar gossip bahwa saya rangking 1
karena guru-guru kasihan sama saya.
Saat naik kelas
3 SMU, saya sempat memilih jurusan IPS, karena saya berpikir tidak mungkin
Mamak mampu membiayai kuliah saya sementara kedua adik saya masih duduk di
bangku SD, masih panjang perjalanan mereka dan tentu saja butuh biaya yang
harus dihemat-hemat dari sekarang. Kalo saya ambil jurusan IPS, tamat SMU nanti
saya mudah cari kerja sebagai admin atau bagian akunting, sambil saya nabung
biaya kuliah saya sendiri. Saat saya jelaskan pilihan saya ini kepada wali
kelas dan guru konseling, saya dinasehati untuk mengambil jurusan IPA,
sebagaimana niat awal saya dulu sejak kelas 1 SMU. Beliau berdua yang
menguatkan saya, mengembalikan saya ke jalan yang benar.
Kelas 3 SMU saya
lewati dengan penuh perjuangan, belajar, belajar dan belajar. Walaupun sempat
merasakan pahitnya patah hati, dan sempat mengganggu semangat belajar saya,
namun tidak membuat nilai-nilai saya terjun bebas. Saya berhasil menyelesaikan
SMU dengan nilai NEM tertinggi se-kota Batam, mendapatkan beasiswa Darmasiswa
Caltex Riau selama 3 tahun kuliah dan mendapatkan PMDK dari D-3 Politeknik
Caltex Riau dan S-1 Teknik Elektro Universitas Andalas. Saya sempat memilih D-3
Politeknik Caltex Riau dengan pertimbangan lulusan D-3 lebih mudah cari kerja.
Tapi lagi-lagi saya dinasehati oleh Kepala Sekolah saya agar memilih S-1 Teknik
Elektro Universitas Andalas, dan saya akhirnya mengikuti nasihat beliau.
Jujur saja, saya
banyak berterimakasih kepada guru-guru SMU saya, karena mereka tidak hanya
berjasa memberikan transfer ilmu kepada saya, tapi juga dukungan moril,
materil, nasehat dan empati kepada saya, sehingga saya sanggup bertahan
melanjutkan studi walaupun Bapak sudah tiada. Semoga Allah membalas semua amal
baik mereka, Aamiin YRA.
Ulang
Tahun Dewasa
Seiring dengan
bertambahnya usia, lulus sekolah, lulus kuliah, bekerja dan menikah, perayaan
ulang tahun pun ikut bergeser dari sekedar pesta. Ada yang sekedar traktir
makan teman kuliah ato teman kantor, bikin syukuran ato pesta dengan teman
dekat saja atau liburan bersama keluarga saja. Ya, semakin dewasa, momen ulang
tahun cenderung dirayakan lebih intim, bersama sahabat, teman dekat atau keluarga. Ada juga yang
menjadikan momen ulang tahun sebagai hari pernikahan. Sebagian lagi
menjadikannya sebagai momen untuk muhasabah atau evaluasi diri dan membuat
rencana hidup.
Saya termasuk
yang terakhir itu. Ulang tahun saya beberapa tahun terakhir ini, selalu saya
jadikan momen untuk muhasabah dan membuat resolusi, karena kebetulan juga ulang
tahun saya jatuh di bulan Januari dimana banyak orang juga menjadikannya
sebagai milestone rencana hidup paling tidak untuk satu tahun kedepan.
Saya teringat
waktu masih sekolah dulu. Teman-teman saya rata-rata pengen menikah di usia 25
tahun, karena menurut orangtua usia tersebut sudah dewasa untuk menikah. Dan
tidak sedikit memang teman-teman saya itu yang akhirnya benar-benar menikah di
usia 25 tahun, ada juga yang lewat sedikit bahkan ada yang lebih cepat. Ada
yang pernikahannya masih bertahan hingga sekarang dan sudah dikarunia anak-anak
yang lucu, namun ada juga yang gagal dalam pernikahannya. Lantas, benarkah usia
25 tahun adalah saat yang dewasa untuk menikah? Bagaimana dengan yang belum
menikah hingga kini seperti saya dan beberapa teman yang lain? Apakah berarti kami
belum dewasa?
Kenyataannya
adalah, setiap orang punya jalan hidup yang unik.
Sebutlah Puji,
teman kantor saya. Dia juga punya mimpi ingin menikah di usia 25 tahun. Dan
saat dia berusia 25 tahun, dia memang hampir merealisasikan mimpinya itu: sudah
lulus kuliah, sudah bekerja dan sudah punya pacar. Namun siapa bisa menolak ujian
hidup dari-Nya, Puji divonis menderita kanker darah atau leukemia. Saat Puji
sedang berjuang melawan kanker, pacarnya tiba-tiba memutuskan hubungan secara
sepihak, dan tidak lama kemudian Puji mendengar berita pacarnya itu menikah
dengan wanita lain, pilihan orangtuanya.
Tiga tahun
lamanya Puji berjuang melawan kanker hingga benar-benar pulih dan bisa kembali
bekerja. Justru dengan kedewasaannya, dan tak lepas dari doa orang-orang yang
menyayanginya, Puji mampu bertahan melawan sakit fisik dan sakit hatinya.
Moving on. Dan akhirnya Puji menikah dengan laki-laki yang bisa menerima masa
lalu dan kekurangannya, di usia 29 tahun.
Lain halnya
dengan saya. Usia 25 tahun saya membuat salah satu keputusan emosional dalam
hidup saya, bukan menikah, tapi resign dari kantor karena berbeda prinsip
dengan manager. Setelah saya lalui, saya sadar bahwa keputusan emosional
tersebut tidak sepenuhnya tepat. Dewasa tidak selalu berarti memutuskan segala
sesuatunya sendiri tanpa meminta pertimbangan dari orangtua, dewasa juga
berarti mampu menyeimbangkan antara idealisme dan prinsip dengan realitas
kehidupan.
Realitasnya
adalah, menjadi pengangguran itu tidak enak. Apalagi bagi saya yang seharusnya
menjadi tulang punggung keluarga, membiayai hidup keluarga kami yang selama ini
hanya bersumber dari uang pensiun Bapak dan sewa rumah kontrakan. Saya sempat
bekerja di kantor lain, namun kembali
saya memutuskan untuk resign. Menjelang akhir usia 25 tahun, saya mendapat
cobaan berat. Mamak sakit keras, dan tepat 16 hari setelah ulang tahun saya
yang ke-26, Mamak meninggal.
Saat itu saya masih menganggur, adik saya Yan baru kuliah tahun pertama di
Pekanbaru dan adik saya Mia masih duduk di bangku SMK. Mungkin karena rasa
tanggungjawab sebagai anak laki-laki di keluarga, Yan memutuskan untuk pindah
kuliah ke Batam agar kami bertiga bisa kumpul. Awalnya Yan enggan untuk
melanjutkan kuliah dan pengen cari kerja saja agar bisa membiayai hidup kami,
tapi saya menghiburnya bahwa kami masih dapat uang pensiun bulanan, masih cukup
untuk bayar kuliah Yan dan sekolah Mia. Kami bertiga sempat tinggal di rumah paman
dan bibi di Batam, agar Yan dan Mia masih bisa merasakan adanya orangtua di
rumah, karena usia mereka masih remaja, masih butuh sosok orangtua yang
disegani dan dihormati di rumah. Sementara saya masih menganggur dan masih
cari-cari kerja, saya banyak membantu pekerjaan rumah, seperti menyapu,
mengepel, memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, menjemur dan mengangkat
jemuran. Rutinitas saya tiap hari seperti itu, ditambah dengan saya merutinkan
sholat Dhuha dan sholat Tahajjud.
Tiga bulan setelah Mamak meninggal, saya kembali bekerja di kantor. Kami tetap
tinggal di rumah paman dan bibi, hingga akhirnya saya mendapatkan pekerjaan di
Kalimantan. Karena tidak ingin terlalu lama merepotkan paman dan bibi, sebelum
saya berangkat ke Kalimantan, saya dan adik-adik pindah ke rumah kontrakan yang
terletak dekat dengan kampus adik-adik saya. Selama bertahun-tahun bekerja di
Kalimantan, yang saya prioritaskan adalah biaya hidup kami bertiga dan
kelancaran kuliah adik-adik saya. Sering terbersit keinginan saya untuk segera
menikah, membentuk keluarga baru yang utuh, bersama laki-laki pilihan hati
saya. Tapi ketakutan akan kesulitan hidup kami sebelumnya membuat saya sangat
berhati-hati, hingga saya lebih fokus untuk memikirkan biaya kuliah adik-adik
dan membeli rumah kami yang baru agar tidak terus-menerus tinggal di rumah
kontrakan.
Alhamdulillah, tahun 2012 banyak berkah yang saya dapatkan: bisa menunaikan
nazar saya dengan umroh, adik saya Yan wisuda dan sudah bekerja, bisa beli
tanah di Bogor dan rumah di Batam walaupun masih nyicil. Empat tahun setelah
Mamak meninggal, ekonomi keluarga sudah jauh lebih baik, bahkan melebihi dari
kondisi kami dulu. Dan kami merasa cukup dengan itu semua, semua yang
kami butuhkan selalu terpenuhi dengan cara-Nya.
Ulang tahun saya tahun ini dan tahun-tahun kedepan, saya membuat rencana
hidup untuk lebih banyak bermanfaat buat oranglain, baik itu secara materi dan
non-materi. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi
oranglain. Selama mengalami kesulitan hidup dulu, kami lebih sering menjadi “tangan
dibawah”. Saat ini, dimana Allah sudah menitipkan banyak sekali berkah-Nya,
kami ingin selalu menjadi “tangan diatas”, atas izin Allah yang memampukan
kami. Bukan hanya sekedar sedekah, zakat atau infak yang bersifat materi, tapi tenaga,
pikiran dan keahlian yang bisa menjadi penggerak ekonomi umat. Semoga Allah
meridhoi cita-cita kami, Aamiin YRA.