"Any Man can be a father, but it takes a special person to be a Dad"
Anonim
Setiap pagi jam 6.00 WITA, saya
punya kebiasaan nonton Wisata Hati – Yusuf Mansur di ANTV. Tidak terkecuali
pagi ini. Bedanya, pagi ini saya nontonnya sambil setengah tertidur
hehehe…Bukannya malas bangun. Saya sudah terbangun sejak jam 2.30 dini hari,
kemudian tidur-tiduran lagi sampai jam 3.30 WITA. Saya lantas bangun untuk
sholat malam dilanjutkan dengan sahur. Selesai sholat Shubuh dan mengaji, saya
set Mivo TV di channel ANTV sambil baca-baca kembali buku pak Noveldy yang
berjudul “Menikah Untuk Bahagia”. Naaah, karena membaca bukunya sambil tiduran
itulah saya malah kebablasan tertidur hehehe….
Sayup-sayup saya mendengar ustadz
YM dengan semangatnya menceritakan tentang Ayah beliau. “Beliau tidak
meninggalkan rumah, tabungan, uang atau harta materi apapun untuk kami! Namun
sekarang, apa yang kami tidak punya? Saya dan kakak-kakak saya hidup
berkecukupan saat ini. Karena beliau selalu memberikan kami makan dari rezeki
yang halal!” Itulah sepenggal tausiyah pagi yang mengena sekali bagi saya. Ya,
karena cerita ustadz YM ini dekat sekali dengan kehidupan saya.
Saya teringat almarhum Bapak.
Bapak orangnya sangat sederhana. Sebagai kepala rumahtangga yang harus
membiayai hidup kami sekeluarga dan juga rutin mengirimkan uang bulanan untuk
nenek dan kakaknya di kampung, ekonomi keluarga kami jauh dari kata cukup. Kami
hidup dalam kondisi yang sangat berhemat. Tapi Bapak bisa dengan murah hati
memberikan saya bahan bacaan dari kecil. Walaupun kami tinggal jauh di Anambas
Kepulauan Riau, sejak SD saya sudah langganan majalah Bobo dan majalah Islami
Sahabat. Gak kalah kan dengan teman-teman sebaya saya yang hidup di kota?
Hehehe….Bapak juga selalu berusaha memenuhi kebutuhan saya sebagai anak-anak,
seperti dengan susah payah membelikan sepeda, mainan, kaset lagu anak-anak,
baju anak yang lagi tren di kampung, baju lebaran.
Bapak menjamin anak-anaknya
mendapatkan pendidikan yang baik, di sekolah ataupun di luar sekolah,
pendidikan agama khususnya. Saya belajar membaca, menulis, menghitung dan
mengaji dengan Bapak. Ditengah kesulitan ekonomi keluarga, saya bersyukur tetap
bisa tumbuh normal dan bahagia sebagaimana anak-anak lainnya.
Di kantor, Bapak termasuk orang
yang disegani, karena beliau selalu jujur dan keras terhadap penyelewengan
apapun yang terjadi di kantor. Hal ini juga yang membuat beberapa teman
kantornya kurang suka, karena Bapak tidak mau ikut-ikutan “main uang”. Sebagai
seorang Hakim di Pengadilan Agama, tentu banyak godaan dari klien, yang minta
urusan perceraiannya cepat diproses dan diputuskan, bahkan ada yang sampai
datang ke rumah untuk memberikan uang atau bingkisan khusus. Namun, alih-alih
menerima sogokan tersebut, Bapak malah menasehati kliennya agar rujuk dan
mengikuti proses yang berlaku. Ada klien yang akhirnya sadar, namun tidak
sedikit juga yang pulang dengan hati mangkel. Tidak jarang pula Bapak mendapat
fitnah menerima sogokan dari klien, tapi karena tidak pernah terbukti, fitnah
tersebut akhirnya surut sendiri. Malah pernah kejadian, yang memfitnah Bapak
malah kena getahnya, ketahuan menggelapkan uang kantor. Allah Maha Adil.
Bapak, sosok laki-laki yang
selalu mengalah demi kebutuhan anak dan istrinya. Yang jarang sekali membeli
pakaian baru untuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah pelit membelikan kami
pakaian baru. Pernah suatu waktu menjelang masa pensiun beliau, Bapak
mendapatkan penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden RI karena
pengabdian beliau selama 20 tahun di instansi Pengadilan Agama. Menjelang
upacara penyematan tanda jasa tersebut, Bapak terlihat nervous sekali. Bapak
tidak punya jas, kemeja dan dasi yang bagus, karena beliau hanya punya seragam
safari kantor. Mau beli yang baru tapi harganya mahal. Bapak tidak mau boros
untuk dirinya sendiri. Cari pinjaman sana-sini tapi tidak ada yang pas
ukurannya. Karena waktu sudah mepet, akhirnya Bapak membeli satu set jas,
kemeja dan dasi di pasar barang-barang second.
Hari penyematan tanda jasa itu
adalah hari paling bahagia bagi Bapak. Wajah beliau cerah sepanjang hari. Tanda
jasa tersebut dipatutnya, disimpannya dengan baik. Tanda jasa tersebut adalah
lambang kebanggaannya di hadapan keluarga, teman dan instansinya.
Tidak banyak harta yang
ditinggalkan Bapak setelah beliau wafat. Sebuah rumah tipe RSS (Rumah Sangat
Sederhana), pensiun dan tabungan yang tidak seberapa. Itu saja. Hari ini, 13
tahun setelah Bapak wafat, saya dan adik-adik masih bisa bertahan hidup dengan
cukup. Perekonomian kami saat ini jauh lebih baik dari yang Bapak jalani selama
20 tahun lebih pengabdiannya bagi Negara. Kami sadar, apa yang kami nikmati
saat ini adalah hasil investasi kedua orangtua kami sejak kecil. Bukan
investasi berupa harta dan materi, tapi makan dan minum dari rezeki yang halal.
Darah daging dari rezeki yang halal.
Didikan orangtua sangat berperan
membentuk prinsip hidup kami. Memang tidak semua prinsip hidup yang kami rekam
sejak kecil itu dapat diterapkan dalam kondisi kehidupan saat ini. Disinilah
dituntut kedewasaan kami untuk memilah-milah mana yang cocok bagi kami.
Dari seorang Bapak yang
karakternya keras dan teguh memegang prinsip hidup jujur, saya belajar untuk
terus bertahan hidup dalam kondisi apapun. Saya belajar bahwa orang yang keras
terhadap diri sendiri, justru adalah orang yang paling butuh kasih sayang,
perhatian dan pengertian, untuk membantu mereka tumbuh menjadi manusia yang
hangat dan menyadarkan bahwa mereka pantas menikmati kebahagiaan…kami cinta
Bapak ^_^