Monday, February 4, 2013

Warisan Bapak

"Any Man can be a father, but it takes a special person to be a Dad"
Anonim


Setiap pagi jam 6.00 WITA, saya punya kebiasaan nonton Wisata Hati – Yusuf Mansur di ANTV. Tidak terkecuali pagi ini. Bedanya, pagi ini saya nontonnya sambil setengah tertidur hehehe…Bukannya malas bangun. Saya sudah terbangun sejak jam 2.30 dini hari, kemudian tidur-tiduran lagi sampai jam 3.30 WITA. Saya lantas bangun untuk sholat malam dilanjutkan dengan sahur. Selesai sholat Shubuh dan mengaji, saya set Mivo TV di channel ANTV sambil baca-baca kembali buku pak Noveldy yang berjudul “Menikah Untuk Bahagia”. Naaah, karena membaca bukunya sambil tiduran itulah saya malah kebablasan tertidur hehehe….
Sayup-sayup saya mendengar ustadz YM dengan semangatnya menceritakan tentang Ayah beliau. “Beliau tidak meninggalkan rumah, tabungan, uang atau harta materi apapun untuk kami! Namun sekarang, apa yang kami tidak punya? Saya dan kakak-kakak saya hidup berkecukupan saat ini. Karena beliau selalu memberikan kami makan dari rezeki yang halal!” Itulah sepenggal tausiyah pagi yang mengena sekali bagi saya. Ya, karena cerita ustadz YM ini dekat sekali dengan kehidupan saya.

Saya teringat almarhum Bapak. Bapak orangnya sangat sederhana. Sebagai kepala rumahtangga yang harus membiayai hidup kami sekeluarga dan juga rutin mengirimkan uang bulanan untuk nenek dan kakaknya di kampung, ekonomi keluarga kami jauh dari kata cukup. Kami hidup dalam kondisi yang sangat berhemat. Tapi Bapak bisa dengan murah hati memberikan saya bahan bacaan dari kecil. Walaupun kami tinggal jauh di Anambas Kepulauan Riau, sejak SD saya sudah langganan majalah Bobo dan majalah Islami Sahabat. Gak kalah kan dengan teman-teman sebaya saya yang hidup di kota? Hehehe….Bapak juga selalu berusaha memenuhi kebutuhan saya sebagai anak-anak, seperti dengan susah payah membelikan sepeda, mainan, kaset lagu anak-anak, baju anak yang lagi tren di kampung, baju lebaran.
Bapak menjamin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, di sekolah ataupun di luar sekolah, pendidikan agama khususnya. Saya belajar membaca, menulis, menghitung dan mengaji dengan Bapak. Ditengah kesulitan ekonomi keluarga, saya bersyukur tetap bisa tumbuh normal dan bahagia sebagaimana anak-anak lainnya.

Di kantor, Bapak termasuk orang yang disegani, karena beliau selalu jujur dan keras terhadap penyelewengan apapun yang terjadi di kantor. Hal ini juga yang membuat beberapa teman kantornya kurang suka, karena Bapak tidak mau ikut-ikutan “main uang”. Sebagai seorang Hakim di Pengadilan Agama, tentu banyak godaan dari klien, yang minta urusan perceraiannya cepat diproses dan diputuskan, bahkan ada yang sampai datang ke rumah untuk memberikan uang atau bingkisan khusus. Namun, alih-alih menerima sogokan tersebut, Bapak malah menasehati kliennya agar rujuk dan mengikuti proses yang berlaku. Ada klien yang akhirnya sadar, namun tidak sedikit juga yang pulang dengan hati mangkel. Tidak jarang pula Bapak mendapat fitnah menerima sogokan dari klien, tapi karena tidak pernah terbukti, fitnah tersebut akhirnya surut sendiri. Malah pernah kejadian, yang memfitnah Bapak malah kena getahnya, ketahuan menggelapkan uang kantor. Allah Maha Adil.
Bapak, sosok laki-laki yang selalu mengalah demi kebutuhan anak dan istrinya. Yang jarang sekali membeli pakaian baru untuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah pelit membelikan kami pakaian baru. Pernah suatu waktu menjelang masa pensiun beliau, Bapak mendapatkan penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden RI karena pengabdian beliau selama 20 tahun di instansi Pengadilan Agama. Menjelang upacara penyematan tanda jasa tersebut, Bapak terlihat nervous sekali. Bapak tidak punya jas, kemeja dan dasi yang bagus, karena beliau hanya punya seragam safari kantor. Mau beli yang baru tapi harganya mahal. Bapak tidak mau boros untuk dirinya sendiri. Cari pinjaman sana-sini tapi tidak ada yang pas ukurannya. Karena waktu sudah mepet, akhirnya Bapak membeli satu set jas, kemeja dan dasi di pasar barang-barang second.

Hari penyematan tanda jasa itu adalah hari paling bahagia bagi Bapak. Wajah beliau cerah sepanjang hari. Tanda jasa tersebut dipatutnya, disimpannya dengan baik. Tanda jasa tersebut adalah lambang kebanggaannya di hadapan keluarga, teman dan instansinya.
Tidak banyak harta yang ditinggalkan Bapak setelah beliau wafat. Sebuah rumah tipe RSS (Rumah Sangat Sederhana), pensiun dan tabungan yang tidak seberapa. Itu saja. Hari ini, 13 tahun setelah Bapak wafat, saya dan adik-adik masih bisa bertahan hidup dengan cukup. Perekonomian kami saat ini jauh lebih baik dari yang Bapak jalani selama 20 tahun lebih pengabdiannya bagi Negara. Kami sadar, apa yang kami nikmati saat ini adalah hasil investasi kedua orangtua kami sejak kecil. Bukan investasi berupa harta dan materi, tapi makan dan minum dari rezeki yang halal. Darah daging dari rezeki yang halal.

Didikan orangtua sangat berperan membentuk prinsip hidup kami. Memang tidak semua prinsip hidup yang kami rekam sejak kecil itu dapat diterapkan dalam kondisi kehidupan saat ini. Disinilah dituntut kedewasaan kami untuk memilah-milah mana yang cocok bagi kami.

Dari seorang Bapak yang karakternya keras dan teguh memegang prinsip hidup jujur, saya belajar untuk terus bertahan hidup dalam kondisi apapun. Saya belajar bahwa orang yang keras terhadap diri sendiri, justru adalah orang yang paling butuh kasih sayang, perhatian dan pengertian, untuk membantu mereka tumbuh menjadi manusia yang hangat dan menyadarkan bahwa mereka pantas menikmati kebahagiaan…kami cinta Bapak ^_^