Sunday, January 20, 2013

Hidayah


By: Taufiq Ismail

“Kalaulah harus disebut sebagai  fenomena. Yang paling mahal harganya, Dalam hal hubungan hadiah dari ALLAH kepada manusia. Hidayah, itulah dia namanya”

“Itulah Hidayah… yang tak terkira mahal harganya . Tinta seluruh lautan akan kering menghitungnya. Tukar dia jangan dengan apa pun benda di dunia”

“Karena Allah tidak dapat dibujuk melalui perdagangan. Tetapi Dia bisa sangat murah hati, mengenai… Hidayah itulah dia namanya”

“Tak dapat ditukar dengan emas seratus gunung banyaknya. Tak dapat dibarter dengan berlian tujuh samudera jumlahnya. Hidayah itulah dia namanya”

“Sehingga karena aku tak mau kehilangan waktu  Aku bershalat dimana saja. Di lantai mesjid ini yang luas luar biasa”

“Terbitlah kerinduan pada kampung halaman kita Yang sebenar-benar kampung halaman. Di balik kelak kain kafan Yang tanggal di kuburan”

Tuesday, January 15, 2013

Zakat Profesi


"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(QS. At-Taubah: 103)

Wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrumen “zakat profesi” di samping “zakat fitrah” dan “zakat maal” (zakat harta). Sebagian kecil masyarakat masih mempertanyakan legalitas zakat profesi tersebut. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Bahkan, zakat profesi telah ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Keputusan Nomor 3 tahun 2003.

Setiap penghasilan, apapun jenis pekerjaan yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Pekerjaan apa saja? Bisa Dokter, Pegawai Negeri Sipil, Akuntan, konsultan, artis, entrepreneur dan sebagainya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah swt:"Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS Al Baqarah:267).

Selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat di dalam Al Qur'an dan hadits yang bisa dijadikan sebagai dalil yang memperkuat legalitas zakat profesi. Bahkan di dalam bukunya, “Fiqhu Zakah” (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Fikih Zakat) Dr. Yusuf Qardawi mengemukakan bahwa penerapan zakat profesi telah sejak lama berlangsung dalam pemerintahan Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Muawiyah, serta Umar bin Abdul Aziz yang memberlakukan pemotongan gaji para pegawai pemerintahan.

Ditinjau dari sisi lain, zakat profesi sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Coba bayangkan, sungguh tidak adil bilamana seorang petani yang bekerja sangat keras untuk mewujudkan hasil pertaniannya, setiap panen tiba harus mengeluarkan zakat pertanian sebesar 5 hingga 10 % sementara kaum professional yang memiliki penghasilan lebih besar dari petani tersebut tidak dikenai zakat.

Dari aspek sosial, zakat profesi sejatinya sangat berperan bagi perwujudan keadilan sosial. Menurut Ahmad Gozali, Perencana Keuangan Safir Senduk dan Rekan, di dalam majalah Sharing zakat adalah investasi sosial. Selain pahalanya disebutkan secara tegas di dalam Al Qur'an bahwa setiap harta yang kita keluarkan akan mendapat balasan sebesar 700 kali lipat,  entah dengan harta yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda yang tidak kita sadari, dengan berzakat kita telah berperan secara aktif dalam memerangi kemiskinan. Keuntungan lain bagi orang yang berzakat, sejalan dengan menurunnya tingkat kemiskinan tingkat kriminalitas juga semakin menurun sehingga lingkungan kerja dan usaha semakin kondusif.

Untuk membantu menghitung zakat profesi, bisa menggunakan kalkulator zakat berikut sebagai referensi:

Sunday, January 13, 2013

Memantaskan Diri atau Sombong?


“Masih ada langit diatas langit”
Anonim

Ada dua pilihan ketika mengalami kegagalan, entah itu dalam hal karier, pendidikan, keluarga, bisnis atau percintaan: menyalahkan oranglain atau introspeksi diri. Saya tidak akan membahas yang pertama karena hanya akan buang-buang waktu saja.

Introspeksi diri adalah proses evaluasi pada faktor internal: sikap, pemikiran, keputusan dan tindakan yang dihasilkan oleh kita sendiri. Seberapa banyak kita mengambil referensi atau teladan dari orang lain, yang kemudian kita olah secara bijak dan memberikan perubahan yang baik bagi hidup kita sendiri.

“Pantaskanlah diri anda untuk menerima yang besar”
“Pantaskanlah diri anda bagi sebaik-baiknya belahan jiwa”
“Jika anda ingin sukses, maka pantaskan diri anda untuk sukses”

Tidak dipungkiri, kalimat diatas banyak memotivasi orang untuk bangkit dan bergerak. Mati-matian bangkit, memaksa diri keluar dari zona nyaman, meninggalkan lingkungan lama yang tidak mendukung. Jatuh-bangun bangkit dari proses menempa diri untuk mencapai tujuan. Ujian demi ujian dilalui dengan tabah. Demi meng-upgrade diri, demi memantaskan diri.

Banyak yang akhirnya berhasil. Ya, memang begitulah hukum alam, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses. Berhasil mencapai tujuan, mencapai kesuksesan, mendapatkan yang diinginkan. Merayakan keberhasilan bisa dengan banyak cara. Ada yang sujud syukur, traktir makan teman-teman, pesta-pora, bersedekah, membeli segala sesuatu yang sudah lama diidam-idamkan dan banyak cara lainnya. Merayakan keberhasilan sejatinya adalah memberikan reward kepada diri sendiri atas kerja keras yang telah ditempuh selama proses menuju keberhasilan. Hal yang manusiawi sekali.

Namun tidak sedikit pula yang lupa, bahwa keberhasilan pada dasarnya adalah tentang PROSES, bukan sekedar HASIL. Dan tercapainya tujuan bukan berarti segalanya, bukan berarti perjuangan hidup telah usai, akan seterusnya hidup enak, tenang, nyaman. Bagaimana hati, pikiran dan emosi kita ikut terbentuk selama berproses itulah yang membentuk kita menjadi pribadi baru, lebih baik atau tidak.

“Dulu waktu saya susah, ga ada yang mau temenan dengan saya. Sekarang jangan harap saya mau berteman dengan mereka yang menghina saya dulu!”
“Dulu aja cewek-cewek itu nolak saya, sekarang pada ngejar-ngejar!”
“Saya bisa berhasil karena kerja keras saya sendiri, bukan dengan minta-minta ke orang, ngapain saya musti bantuin mereka!”

Kalimat semacam diatas pasti pernah kita dengar ya, entah itu dari orang yang kita kenal ataupun di media sosial dan internet. Disinilah kedewasaan seseorang diuji, apakah dia memang sudah “pantas” dan “siap” dengan hasil yang telah dia perjuangkan, atau sebenarnya dia justru sedang diuji dengan keberhasilannya tersebut. Keberhasilan yang menghasilkan hasrat untuk balas dendam, justru sebenarnya menunjukkan bahwa orang tersebut belum berhasil secara emosional. Pikiran dan tenaga mungkin telah berjuang mati-matian, tapi dengan membawa hati yang masih memendam sakit.

Jangan jumawa dulu jika sedang dianugerahi banyak kesenangan dan kemudahan, bisa jadi itu adalah ujian-Nya yang kapan pun bisa Dia balikkan menjadi kesulitan dan kesempitan. Walaupun itu adalah hasil kerja keras dan perjuangan kita, tanpa ridho-Nya, semuanya tidak akan jadi apa-apa. Allah itu Maha Besar, makanya Dia bisa merencanakan apa saja terhadap mahluk-Nya.

#NtMS (Note to My Self)


Denial (Penyangkalan)

"Simply say what's in your heart"
Belle (Belle's Magical World)

Denial adalah mekanisme penolakan dari dalam diri atas sesuatu. Memainkan peran defensif, sama seperti represi. orang menyangkal untuk melihat atau menerima masalah atau aspek hidup yang menyulitkan. Denial beroperasi pada taraf preconscius atau conscius.

Contohnya: seorang gadis yang rendah diri, tidak berani menunjukkan perasaan suka pada lawan jenis karena merasa kurang cantik, kurang pintar, kurang kaya. Sebutlah namanya Dara.

Dara ingin sekali menolak perasaan sukanya terhadap seseorang hanya karena situasi yang dia hadapi mirip dengan pengalaman sebelumnya yang cukup sering dan berujung sakit hati.

Dara tahu dia adalah sosok pria idamannya. Saat Dara pertama kali melihat pria itu, Dara sudah bisa mengatakan bahwa dia adalah pria idaman tipenya. Tapi pada saat yang bersamaan juga Dara memilih untuk menolak habis-habisan perasaannya. Setiap Dara ngobrol dengan pria itu, Dara berusaha ketus dan berkesan Dara tidak peduli dengan pria itu. Dara merasa hancur saat melakukan itu. Dara merasa bersalah memperlakukan dia seperti itu. Tapi ini adalah salah satu cara penolakan Dara agar perasaan ini tidak berlanjut.

Entah apa dan bagaimana semakin hari bukannya semakin berkurang rasa ini malah semakin sering Dara bertemu dia. Sering pula mereka ngobrol banyak. Dara merasa dialah pria yang benar-benar tipenya. Tapi disisi lain Dara tidak mau melanjutkan perasaan ini. Selama ini dia selalu bersikap baik pada Dara, mungkin itu salah satu juga yang membuat Dara tidak bisa total menjauhi dia.

Dara takut untuk mengambil resiko mengejar cintanya. Dara takut terjatuh untuk yang kesekian kali. Tapi Dara merasa kesempatan untuk dekat dengan dia pun sama besar. Dara takut mengambil langkah yang salah. Dara takut kecewa dengan keputusannya sendiri.

Suatu hari, pria itu bilang ke Dara kalau dia sedang ingin jadian dengan orang lain tanpa Dara tau siapa wanita tersebut. Dara mencoba mencari kebenaran dari cerita pria itu dengan bertanya ke teman-teman lingkungan sekitarnya. Tapi hasilnya nihil. Teman-temannya juga tidak ada yang tahu siapa yang dimaksud wanita rahasia itu. Ada seorang teman yang menerka wanita itu adalah Dara. tapi Dara merasa tidak memiliki potensi untuk berada di posisi wanita tersebut.

                                                                               ---

Contoh yang dialami Dara diatas mungkin juga banyak dialami oleh wanita lain, bahkan mungkin juga pria.  Memang denial bisa terjadi pada wanita ataupun pria, karena ini adalah pilihan sadar. Denial tidak hanya terjadi ketika kita mengalami masalah cinta, tapi juga keuangan, keyakinan agama dan juga masalah keluarga seperti kematian, perceraian, pernikahan dan lainnya. Penyebab umumnya adalah pengalaman hidup yang secara sengaja ataupun tidak sengaja masih menyimpan emosi negatif dalam pikiran bawah sadar.

Cara membebaskan diri dari denial? Being present!! (silakan baca dalam tulisan sebelumnya ya). Gali alam bawah sadar kita, cari tau penyebabnya, keluarkan dan lepaskan. Cara ini bisa kita lakukan sendiri atau bisa melalui bimbingan dan pendampingan oleh ahli yang kita percayai seperti ustadz, psikiater, hipnoterapis atau soulhealer. Yang perlu digarisbawahi adalah mintalah bantuan pada yang ahli, jangan sembarangan percaya pada orang yang tidak kompeten untuk hal ini, karena bisa-bisa denial kita bukannya sembuh malah makin parah.

#NtMS (Note to My Self)

Being Present

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
QS. Ar Rahman

Setiap orang punya jatah waktu yang sama, 24 jam sehari.
Yang berbeda hanyalah bagaimana kita mengisi waktu yang kita punya.
Waktu tidak bisa diputar kembali, tapi bukan berarti kita harus paranoid menghadapi hari ini dan hari esok. Rencanakanlah hidup yang lebih baik esok hari, tapi jangan lupakan hari ini.
Hiduplah untuk hari ini seutuhnya.
Jika hari ini kita harus bersedih, menangislah, tuntaskan hari ini, karena kita tidak pernah tahu, mungkin bahagia sudah menunggu kita esok hari.
Jika hari ini kita berbahagia, senyum dan tertawalah, karena belum tentu esok kita masih bisa tersenyum dan tertawa.

Pejamkan mata sejenak...
Biarkan hati dan pikiran kita menikmati hari ini.
Biarkan hati dan pikiran bekerjasama, selaras, seimbang.
Jangan paksakan pikiran dan tubuh kita melakukan sesuatu yang hati tidak nyaman dengannya.

Allah mengajarkan kebahagiaan dan sukacita lewat ujian, cobaan dan tekanan hidup.
Allah mengajarkan kesedihan dan dukacita lewat kesenangan, kemudahan dan kelapangan.
Penyesalan mengajarkan kita bagaimana caranya bertobat dan minta ampun pada-Nya.
Keberuntungan mengajarkan kita bagaimana cara bersyukur pada-Nya dan berbagi pada sesama.
Bagaimanapun perjalanan hidup yang telah kita lalui, hiduplah untuk hari ini seutuhnya.

Bersujudlah pada-Nya.
Tarik napas yang dalam, kemudian keluarkan.
Biarkan senyum dari dalam hati yang mengukir wajah kita.
Dan ucapkan,"Alhamdulillah..."

#NtMS (Note to My Self)

Saturday, January 12, 2013

Remember When


“Before you assume, learn the FACTS. Before you judge, understand WHY. Before you hurt someone, FEEL. Before you leave, commit to STAYING.”
@damnitstrue


Sejenak Dara duduk terdiam di balkon kamarnya. Menikmati rintik-rintik hujan yang makin deras. Dara menikmati irama hujan dan bau tanah yang basah oleh hujan. Tempias hujan tak mampu menyamarkan bulir-bulir hangat yang mengalir pelan dari pelupuk matanya. 

Mengingat kembali hidup yang telah dijalani selama 3 tahun terakhir disini. Jauh dari keluarga, yang dia punya hanya teman dan sahabat. Kata orang, saat kita dirantau, teman itulah keluarga kita. Tapi bagi Dara, tidak semua teman bisa jadi keluarga. Tidak semua omongan teman perlu didengar dan dipercaya. "Mintalah fatwa pada hatimu", Dara menyitir sebuah hadist.

3 tahun Dara membangun kepercayaan, pada dirinya dan pada cintanya yang dia percaya bisa menjadi sahabat seumur hidupnya. Bukan waktu yang singkat untuk belajar saling mengerti dan memahami tanpa harus berkata, memberi dan mendukung tanpa harus diminta. Suka, duka, bahagia, cemburu, kecewa sudah kenyang mereka rasakan, karena masih ada ego yang harus ditaklukkan. Saat perjalanan sudah hampir memasuki fase yang baru, gerbang menuju masa depan yang dicita-citakan, semua sirna begitu saja, meninggalkan keping-keping pertanyaan yang tak terjawab.

Petir yang tiba-tiba muncul mengagetkan lamunan Dara. Sambil meraih segelas coklat hangat, Dara pindah kedalam kamar, menekan tombol "enter" pada laptopnya yang pelan memutar kembali cuplikan film "Up" dengan backsound lagu "Remember When" nya Allan Jackson...

Remember when I was young and so were you
And time stood still and love was all we knew
You were the first, so was I
We made love and then you cried
Remember when

Remember when we vowed the vows and walked the walk
Gave our hearts, made the start and it was hard
We lived and learned, life threw curves
There was joy, there was hurt
Remember when

Remember when old ones died and new were born
And life was changed, disassembled, rearranged
We came together, fell apart
And broke each other's hearts
Remember when

Remember when the sound of little feet was the music
We danced to week to week
Brought back the love, we found trust
Vowed we'd never give it up
Remember when

Remember when thirty seemed so old
Now lookin' back, it's just a steppin' stone
To where we are, where we've been
Said we'd do it all again
Remember when

Remember when we said when we turned gray
When the children grow up and move away
We won't be sad, we'll be glad
For all the life we've had
And we'll remember when

Remember when
Remember when






Friday, January 11, 2013

Yuuuk Belajar Financial Planning!


“Ketika Anda menguasai keuangan Anda, maka Anda menguasai kehidupan Anda”
Paul Hanna

Tulisan saya kali ini tidak akan banyak menjelas tentang Financial Planning sebagaimana layaknya seorang financial planner professional yang sudah banyak menelan ilmu dari kursus semacam Certified Financial Planner, Associate Estate Planning Practitioner dan Certified Wealth Manager, karena ilmu saya belum sampai kesana, tapi insyaaLlah akan menuju kesana, doakan ya! Hehehe…

Saya ingin mengajak kita sama-sama “mengosongkan gelas” dulu, sebelum kita mengisi kembali dengan ilmu dan skill yang lebih mumpuni tentang Financial Planning.

Emang apa sih Financial Planning itu? Segitu pentingnya kah?

Financial Planning atau Perencanaan Keuangan adalah proses mengelola keuangan yang dilakukan dengan disiplin, untuk mencapai tujuan yang Anda inginkan. Prosesnya mulai dari mendapatkan, menggunakan, menginvestasikan, mensedekahkan, sampai mewariskan. Kenapa penting? Karena perencanaan keuangan sama pentingnya dengan menjaga kesehatan. Dua-duanya harus kita perhatikan agar hasil jerih payah dalam bekerja bisa kita nikmati dan gunakan untuk keperluan kita semaksimal mungkin.

Disadari atau tidak, setiap keputusan yang kita buat dalam hidup ini tak lepas dari pertimbangan keuangan. Contoh sederhana adalah makan. Saat kita pengen makan, biasanya kita akan mulai memilah-milih: makan apa? makan dimana? makan di restoran, warung atau masak sendiri? Apapun keputusan anda terhadap pertanyaan tersebut, pertimbangan keuangan selalu menjadi salah satu referensi utama: harganya.

Biasanya kita belajar membuat perencanaan keuangan dari lingkungan terdekat, keluarga atau orangtua. Umumnya anak-anak sudah diajarkan menabung sejak dini, mulai dari tabungan dalam bentuk celengan hingga menabung ke bank. Pelajaran sederhana tentang perencanaan keuangan kepada anak adalah bagaimana menggunakan dan menyimpannya. Seiring dengan perkembangan zaman, selepas krisis ekonomi di Indonesia, dunia wirausaha tumbuh dengan pesat. Dan jiwa wirausaha ini pun mulai menyentuh anak-anak dan remaja. Mereka tidak hanya belajar bagaimana menggunakan dan menyimpan uang, tapi juga sudah belajar bagaimana mendapatkan uang. Selain wirausaha cilik, artis dan inventor cilik juga sudah bersentuhan dengan keuangan sejak dini.

Jelas, bahwa perencanaan keuangan tidak hanya penting bagi orang dewasa, bahkan ini bisa dididik kepada anak dan remaja, agar hasil yang diperoleh saaat usia produktif bisa menjadi bekal kehidupan selanjutnya.

Perencanaan keuangan juga tidak mengenal orang kaya atau miskin, punya banyak uang atau tidak. Hal yang lumrah di masyarakat, orangtua yang tidak punya penghasilan tetap, penghasilan pas-pasan, tapi bisa memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anaknya, bisa punya rumah, tanah dan kebun. Sementara disisi lain, ada orang yang terkenal kaya di kampungnya atau keturunan kaya, punya rumah dan kendaraan yang bagus, bisnisnya dimana-mana, tapi bisa collapse dan kehilangan semua hartanya. Terlepas dari kehendak Allah untuk memberi dan mencabut rezeki-Nya, bagaimana anda merencanakan keuangan anda bisa tercermin dari kualitas hidup anda. Jadi, bukan seberapa banyak harta anda yang menjamin kehidupan yang baik, tapi bagaimana cara anda me-manage harta anda itu lebih penting.

#NtMS (Note to My Self)

Tuesday, January 8, 2013

Ulang Tahun Itu…


“Age is an issue of mind over matter, if you don’t mind, it doesn’t matter”
Mark Twain

Alhamdulillah, hari ini bertambah lagi usiaku, berkurang pula jatah hidupku di dunia ini. Momen ulang tahun ini adalah momen yang unik, karena disaat yang sama, kita harus banyak bersyukur karena Allah masih mengizinkan kita hidup hingga bertambahnya usia, dan juga harus banyak bertaubat karena kita semakin dekat dengan kematian yang sudah pasti akan datang pada setiap mahluk yang bernyawa.

Setiap masa, setiap usia, punya caranya sendiri ketika merayakan hari ulang tahun….

Ulang Tahun Masa Kanak-kanak
Masa kanak-kanak identik dengan bermain, bernyanyi, ceria dan tertawa. Tak heran jika pesta ulang tahun mereka tidak jauh dari pakem: kue ultah, balon warna-warni, badut dan MC yang lucu, baju ultah ala pangeran, putri, atau tokoh jagoan, kado yang lucu, nyanyi bareng, tiup lilin, goodie bag yang isinya bermacam permen, coklat, snack cemilan anak-anak, susu. Semuanya hanya untuk merayakan kegembiraan hari ulang tahun.

Beberapa orangtua ada yang cukup bijak mengundang anak yatim dari panti asuhan atau tetangga yang kurang mampu untuk ikut hadir dalam kegembiraan hari ulang tahun anaknya. Namun tidak sedikit pula orangtua yang menjadikan pesta ulang tahun anaknya sebagai ajang pamer atau adu gengsi. Pesta ulang tahun anak dirayakan di hotel berbintang, di gedung mewah atau di restoran ternama. Atau yang paling “sederhana” adalah di restoran siap saji yang memang menyediakan paket dan tempat khusus untuk ulang tahun anak-anak.

Ga salah sih jika pesta ulang tahun anak dirayakan layaknya pesta perkawinan, asalkan orangtuanya mampu dan tidak memaksakan diri. Hanya mungkin jangan lupa, anak juga perlu dididik sedini mungkin tentang sejatinya ulang tahun itu.

Bagi orangtua, momen ulang tahun anak bisa dijadikan saat evaluasi, apakah pertumbuhan anak sudah sesuai dengan usianya, sudah seberapa jauh perkembangan anaknya, apakah cara mendidik anak selama ini sudah sesuai dengan kebutuhan anak. Yang ditekankan disini adalah pentingnya mendidik anak sesuai dengan kebutuhannya, bukan sesuai dengan keinginan orangtua, karena tidak sedikit orangtua yang sudah mengarahkan anaknya sejak kecil sesuai dengan ambisi orangtua.

“Horeee….adek ulang tahun hari ini! Yuk ucapkan Alhamdu…lillaah”
“Adek ultah ya hari ini? Umur adek nambah donk ya…berarti adek tambah besar nih”
“Adek udah besar nih, udah bisa mandi sendiri donk…udah bisa makan sendiri donk…udah bisa bobok sendiri donk….hebaaat!!”

Bagi anak, momen ulang tahun bisa dijadikan momen untuk memupuk rasa percaya diri anak, bahwa dia sudah besar, sudah bisa melakukan aktivitas yang sebelumnya dia belum mampu, atau bisa dijadikan momen untuk memberikan apresiasi terhadap prestasi atau perkembangan anak, misalnya selama setahun terakhir ini anak sudah bisa makan sendiri, maka pas ulang tahun anak diberi hadiah satu set peralatan makan anak yang baru.

Saya dan adik-adik, karena keterbatasan ekonomi keluarga, hampir tidak pernah merayakan ulang tahun. Seingat saya, pernah sekali dulu saat saya masih duduk di bangku SD, saat saya ulang tahun (saya lupa ulang tahun yang keberapa) Mamak membuatkan kue bolu dan krim warna hijau untuk dihias ke kue bolu tersebut. Kemudian saya disuruh memanggil teman-teman sekolah dan tetangga serta anak yatim untuk datang ke rumah. Mamak juga memasakkan nasi goreng untuk kami makan bersama. Saya duduk diatas kursi di ruang tengah dengan “kue ultah” berwarna hijau diatas meja di depan saya. Teman-teman yang datang duduk mengisi ruang tengah rumah saya tersebut sambil sama-sama makan nasi goreng. Tidak ada balon warna-warni, tidak ada badut dan MC yang lucu, tidak ada goodie bag dan tidak ada kado. Sederhana dan lucu sekali ya pesta ulang tahun saya hehehe….Tapi seingat saya, pernah beberapa kali pas ulang tahun saya, Bapak memberikan hadiah atas prestasi saya karena selalu juara kelas.

Ulang Tahun ke-17
Masa muda paling indah dan penuh kenangan itu adalah saat SMU, demikian kebanyakan orang berpendapat. Usia 17 tahun rata-rata anak masih duduk di kelas 2 atau 3 SMU. Selalu banyak cerita yang dikenang dari masa SMU. Tentang jatuh cinta, patah hati, rebutan gebetan atau pacar, geng bolos sekolah, geng gaul, juara kompetisi antar sekolah, idola basket, cewek-cewek chearleaders, anak-anak OSIS, dan aneka pernik cerita lainnya.

Selain di usia 17 tahun udah bisa punya Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang secara hukum Indonesia menandakan anak telah menjadi dewasa, banyak orangtua juga yang mewanti-wanti anaknya baru boleh pacaran kalo udah usia 17 tahun. Sehingga tak heran jika menjelang ulang tahun yang ke-17, banyak yang berlomba-lomba dan memasang target pengen tiup lilin kue ulang tahun yang ke-17 dengan didampingi pacar. Bahkan ada yang menjadikan pesta ulang tahun ke-17 sebagai momen untuk “nembak” gebetannya. Yah begitulah riuh-rendah kegembiraan ulang tahun ke-17. Masing-masing punya cerita dan keunikannya sendiri merayakan ulang tahun ke-17, begitupun dengan saya.

Ulang tahun saya yang ke-17 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Saat itu kami sekeluarga sedang libur lebaran Idul Fitri di Palembang. Saking asyiknya merayakan lebaran bersama-sama saudara yang jarang bertemu, saya sampai lupa kalo hari itu adalah hari ulang tahun saya. Hingga sore menjelang malam, Bapak dan Mamak mendekati saya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun. Tanpa pesta ulang tahun dan tanpa pacar. Bapak hanya memberikan uang jajan lebih untuk menambah pundi-pundi tabungan saya.

Beberapa tahun sebelumnya, pernah ada orang yang bilang ke saya bahwa saat saya berusia 17 tahun nanti saya akan mengalami cobaan hidup yang berat. Yang jelas saat itu saya bukan sedang datang ke peramal loh ya. Saya juga lupa siapa orang tersebut, entah saudara atau temannya orangtua saya. Dan entah kebetulan juga, tebakan orang tersebut benar. Enam bulan setelah ulang tahun saya yang ke-17, Bapak meninggal dunia.

Bagi saya, Bapak adalah panutan dan motivator hebat saya, selain kakek (bapaknya Mamak). Walaupun Bapak mendidik saya dengan keras dan disiplin, namun itu justru membuat saya berani bermimpi ingin kuliah setinggi-tingginya, melebihi beliau yang hanya sarjana muda. Namun wafatnya Bapak membuat masa depan saya mendadak menjadi gelap, sebab Bapak adalah tulang punggung keluarga sementara Mamak hanya ibu rumahtangga. Saat itu saya merasa limbung, pegangan hidup saya lepas.

Wafatnya Bapak bertepatan dengan seminggu menjelang ujian kenaikan kelas. Tiap saya bangun malam untuk belajar, airmata saya tak henti-hentinya berlinang. Saya selalu teringat beliau yang sering menegur saya jika belajar hingga larut malam sampai lupa tidur. Alhamdulillah saya bisa lulus ujian kenaikan kelas dan tetap rangking 1 di kelas, walaupun sempat saya dengar gossip bahwa saya rangking 1 karena guru-guru kasihan sama saya.

Saat naik kelas 3 SMU, saya sempat memilih jurusan IPS, karena saya berpikir tidak mungkin Mamak mampu membiayai kuliah saya sementara kedua adik saya masih duduk di bangku SD, masih panjang perjalanan mereka dan tentu saja butuh biaya yang harus dihemat-hemat dari sekarang. Kalo saya ambil jurusan IPS, tamat SMU nanti saya mudah cari kerja sebagai admin atau bagian akunting, sambil saya nabung biaya kuliah saya sendiri. Saat saya jelaskan pilihan saya ini kepada wali kelas dan guru konseling, saya dinasehati untuk mengambil jurusan IPA, sebagaimana niat awal saya dulu sejak kelas 1 SMU. Beliau berdua yang menguatkan saya, mengembalikan saya ke jalan yang benar.

Kelas 3 SMU saya lewati dengan penuh perjuangan, belajar, belajar dan belajar. Walaupun sempat merasakan pahitnya patah hati, dan sempat mengganggu semangat belajar saya, namun tidak membuat nilai-nilai saya terjun bebas. Saya berhasil menyelesaikan SMU dengan nilai NEM tertinggi se-kota Batam, mendapatkan beasiswa Darmasiswa Caltex Riau selama 3 tahun kuliah dan mendapatkan PMDK dari D-3 Politeknik Caltex Riau dan S-1 Teknik Elektro Universitas Andalas. Saya sempat memilih D-3 Politeknik Caltex Riau dengan pertimbangan lulusan D-3 lebih mudah cari kerja. Tapi lagi-lagi saya dinasehati oleh Kepala Sekolah saya agar memilih S-1 Teknik Elektro Universitas Andalas, dan saya akhirnya mengikuti nasihat beliau.

Jujur saja, saya banyak berterimakasih kepada guru-guru SMU saya, karena mereka tidak hanya berjasa memberikan transfer ilmu kepada saya, tapi juga dukungan moril, materil, nasehat dan empati kepada saya, sehingga saya sanggup bertahan melanjutkan studi walaupun Bapak sudah tiada. Semoga Allah membalas semua amal baik mereka, Aamiin YRA.

Ulang Tahun Dewasa
Seiring dengan bertambahnya usia, lulus sekolah, lulus kuliah, bekerja dan menikah, perayaan ulang tahun pun ikut bergeser dari sekedar pesta. Ada yang sekedar traktir makan teman kuliah ato teman kantor, bikin syukuran ato pesta dengan teman dekat saja atau liburan bersama keluarga saja. Ya, semakin dewasa, momen ulang tahun cenderung dirayakan lebih intim, bersama sahabat,  teman dekat atau keluarga. Ada juga yang menjadikan momen ulang tahun sebagai hari pernikahan. Sebagian lagi menjadikannya sebagai momen untuk muhasabah atau evaluasi diri dan membuat rencana hidup.

Saya termasuk yang terakhir itu. Ulang tahun saya beberapa tahun terakhir ini, selalu saya jadikan momen untuk muhasabah dan membuat resolusi, karena kebetulan juga ulang tahun saya jatuh di bulan Januari dimana banyak orang juga menjadikannya sebagai milestone rencana hidup paling tidak untuk satu tahun kedepan.

Saya teringat waktu masih sekolah dulu. Teman-teman saya rata-rata pengen menikah di usia 25 tahun, karena menurut orangtua usia tersebut sudah dewasa untuk menikah. Dan tidak sedikit memang teman-teman saya itu yang akhirnya benar-benar menikah di usia 25 tahun, ada juga yang lewat sedikit bahkan ada yang lebih cepat. Ada yang pernikahannya masih bertahan hingga sekarang dan sudah dikarunia anak-anak yang lucu, namun ada juga yang gagal dalam pernikahannya. Lantas, benarkah usia 25 tahun adalah saat yang dewasa untuk menikah? Bagaimana dengan yang belum menikah hingga kini seperti saya dan beberapa teman yang lain? Apakah berarti kami belum dewasa?

Kenyataannya adalah, setiap orang punya jalan hidup yang unik.

Sebutlah Puji, teman kantor saya. Dia juga punya mimpi ingin menikah di usia 25 tahun. Dan saat dia berusia 25 tahun, dia memang hampir merealisasikan mimpinya itu: sudah lulus kuliah, sudah bekerja dan sudah punya pacar. Namun siapa bisa menolak ujian hidup dari-Nya, Puji divonis menderita kanker darah atau leukemia. Saat Puji sedang berjuang melawan kanker, pacarnya tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak, dan tidak lama kemudian Puji mendengar berita pacarnya itu menikah dengan wanita lain, pilihan orangtuanya.

Tiga tahun lamanya Puji berjuang melawan kanker hingga benar-benar pulih dan bisa kembali bekerja. Justru dengan kedewasaannya, dan tak lepas dari doa orang-orang yang menyayanginya, Puji mampu bertahan melawan sakit fisik dan sakit hatinya. Moving on. Dan akhirnya Puji menikah dengan laki-laki yang bisa menerima masa lalu dan kekurangannya, di usia 29 tahun.

Lain halnya dengan saya. Usia 25 tahun saya membuat salah satu keputusan emosional dalam hidup saya, bukan menikah, tapi resign dari kantor karena berbeda prinsip dengan manager. Setelah saya lalui, saya sadar bahwa keputusan emosional tersebut tidak sepenuhnya tepat. Dewasa tidak selalu berarti memutuskan segala sesuatunya sendiri tanpa meminta pertimbangan dari orangtua, dewasa juga berarti mampu menyeimbangkan antara idealisme dan prinsip dengan realitas kehidupan.

Realitasnya adalah, menjadi pengangguran itu tidak enak. Apalagi bagi saya yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, membiayai hidup keluarga kami yang selama ini hanya bersumber dari uang pensiun Bapak dan sewa rumah kontrakan. Saya sempat bekerja di kantor lain, namun kembali saya memutuskan untuk resign. Menjelang akhir usia 25 tahun, saya mendapat cobaan berat. Mamak sakit keras, dan tepat 16 hari setelah ulang tahun saya yang ke-26, Mamak meninggal.

Saat itu saya masih menganggur, adik saya Yan baru kuliah tahun pertama di Pekanbaru dan adik saya Mia masih duduk di bangku SMK. Mungkin karena rasa tanggungjawab sebagai anak laki-laki di keluarga, Yan memutuskan untuk pindah kuliah ke Batam agar kami bertiga bisa kumpul. Awalnya Yan enggan untuk melanjutkan kuliah dan pengen cari kerja saja agar bisa membiayai hidup kami, tapi saya menghiburnya bahwa kami masih dapat uang pensiun bulanan, masih cukup untuk bayar kuliah Yan dan sekolah Mia. Kami bertiga sempat tinggal di rumah paman dan bibi di Batam, agar Yan dan Mia masih bisa merasakan adanya orangtua di rumah, karena usia mereka masih remaja, masih butuh sosok orangtua yang disegani dan dihormati di rumah. Sementara saya masih menganggur dan masih cari-cari kerja, saya banyak membantu pekerjaan rumah, seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, menjemur dan mengangkat jemuran. Rutinitas saya tiap hari seperti itu, ditambah dengan saya merutinkan sholat Dhuha dan sholat Tahajjud.

Tiga bulan setelah Mamak meninggal, saya kembali bekerja di kantor. Kami tetap tinggal di rumah paman dan bibi, hingga akhirnya saya mendapatkan pekerjaan di Kalimantan. Karena tidak ingin terlalu lama merepotkan paman dan bibi, sebelum saya berangkat ke Kalimantan, saya dan adik-adik pindah ke rumah kontrakan yang terletak dekat dengan kampus adik-adik saya. Selama bertahun-tahun bekerja di Kalimantan, yang saya prioritaskan adalah biaya hidup kami bertiga dan kelancaran kuliah adik-adik saya. Sering terbersit keinginan saya untuk segera menikah, membentuk keluarga baru yang utuh, bersama laki-laki pilihan hati saya. Tapi ketakutan akan kesulitan hidup kami sebelumnya membuat saya sangat berhati-hati, hingga saya lebih fokus untuk memikirkan biaya kuliah adik-adik dan membeli rumah kami yang baru agar tidak terus-menerus tinggal di rumah kontrakan.

Alhamdulillah, tahun 2012 banyak berkah yang saya dapatkan: bisa menunaikan nazar saya dengan umroh, adik saya Yan wisuda dan sudah bekerja, bisa beli tanah di Bogor dan rumah di Batam walaupun masih nyicil. Empat tahun setelah Mamak meninggal, ekonomi keluarga sudah jauh lebih baik, bahkan melebihi dari kondisi kami dulu. Dan kami merasa cukup dengan itu semua, semua yang kami butuhkan selalu terpenuhi dengan cara-Nya.

Ulang tahun saya tahun ini dan tahun-tahun kedepan, saya membuat rencana hidup untuk lebih banyak bermanfaat buat oranglain, baik itu secara materi dan non-materi. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi oranglain. Selama mengalami kesulitan hidup dulu, kami lebih sering menjadi “tangan dibawah”. Saat ini, dimana Allah sudah menitipkan banyak sekali berkah-Nya, kami ingin selalu menjadi “tangan diatas”, atas izin Allah yang memampukan kami. Bukan hanya sekedar sedekah, zakat atau infak yang bersifat materi, tapi tenaga, pikiran dan keahlian yang bisa menjadi penggerak ekonomi umat. Semoga Allah meridhoi cita-cita kami, Aamiin YRA.


Monday, January 7, 2013

Hati Yang Berhijab



“Hanya dengan hati, seseorang dapat melihat yang benar; apa yang penting adalah apa yang tidak terlihat oleh mata”
Antoine de Saint-Exupery


Sonia. Namanya singkat dan sederhana sekali, hanya satu suku kata saja. Berbeda dengan kebanyakan teman-teman seangkatan kami, yang punya nama minimal dua suku kata. Bahkan sejak lima tahun belakangan ini, sudah menjadi trend di kalangan orangtua muda, memberikan nama anaknya minimal tiga suku kata.  Kebayang aja, sepuluh atau duapuluh tahun lagi, trend nama anak bisa jadi lima bahkan enam suku kata ya? Hehehe….

Sonia punya kakak perempuan bernama Sarah dan adik laki-laki bernama Farhan. Ya, memang orangtua mereka sederhana sekali memberikan nama pada anak-anaknya. Yang penting mudah diingat dan tetap terkesan nama orang kota.

Sonia adalah teman kuliah saya di jurusan Teknik Elektro, sedangkan kak Sarah kuliah di jurusan Teknik Lingkungan, satu angkatan diatas kami. Sejak awal saya kenal Sonia dan kak Sarah, saya selalu kagum dengan mereka dan orangtuanya. Jauh sebelum trend hijabers yang marak saat ini, mereka sudah berhijab sesuai syar’i, juga beberapa teman seangkatan saya yang lainnya, sehingga saya pun ketularan mengganti celana jeans dengan rok panjang, baju kaos dengan baju longgar dan jilbab gaul dengan jilbab menutup dada.

Jujur aja, selama kuliah, saya merasa baru menemukan dan mengenal agama Islam. Saya memang sudah bisa mengaji dan sholat sejak kecil karena saya lahir dari orangtua yang keduanya muslim. Bisa dibilang, saya mengenal Islam dari kebiasaan dalam keluarga, bukan dari hasil proses pencarian Tuhan.

Dan saat kuliah itulah, saya tidak hanya berproses mencari jati diri, tapi lebih dalam lagi, saya mencari Tuhan. Teman dan lingkungan kampus sangat mendukung saya dalam proses mencari Tuhan. Saya ikut dalam kelompok liqo’ mingguan dengan teman muslimah yang seangkatan, kegiatan forum Annisa tiap Jumat siang, saya kenal dengan nasyid, buku-buku Islam bahkan pernah saya mencicipi buku perbandingan agama dan dialog jin dan manusia. Dari semua hasil diskusi, pertanyaan kritis, muhasabah dan pergaulan dengan orang-orang yang saya kenal, saya menemukan semua jawabannya dalam Islam.

Ditengah pergumulan bathin mencari Tuhan dan kesibukan kuliah, hati saya mantap memilih Islam. Entahlah, tiba-tiba saja keyakinan itu hadir dalam hati, perlahan-lahan namun semakin kuat. Saya kembali melafadzkan Syahadat dengan sepenuh hati, sebagaimana layaknya seorang mualaf. Beberapa tahun sebelumnya, saat pesantren kilat di SMP, guru agama saya pernah mengajak kami semua dengan sadar, mengucapkan kalimat Syahadat, dan hasilnya dengan kesadaran sendiri, saya memutuskan berjilbab, walopun belum sempurna berhijab.

Selain tentang berhijab, hal lain yang saya pelajari dari Sonia dan keluarganya adalah tentang perjuangan hidup untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. orangtuanya bukanlah pegawai berpenghasilan tetap. Tiap dua minggu sekali, Sonia dan kak Sarah bergantian pulang kampung. Selain untuk bertemu orangtua, mereka juga sekalian mengambil uang untuk biaya hidup dan biaya kuliah, juga mengambil beras untuk makan selama tinggal di kosan. Pernah suatu waktu saya main ke kosan Sonia saat dia baru tiba dari kampung, saya melihat Sonia mengeluarkan satu kantung plastik uang receh, ya benar uang receh! Saya tertegun, uang receh sebanyak itu adalah untuk menambah biaya hidup mereka selama dua minggu kedepan.

Kak Sarah adalah sosok akhwat yang cerdas dan supel, tak heran banyak yang naksir sewaktu kuliah. Namun kak Sarah teguh pada prinsipnya untuk tidak pacaran hingga halal atau setelah menikah. Lagipula kak Sarah ini tipe study-holic, kemana-mana ga lepas dari buku dan diktat kuliah. Beda dengan Sonia yang lebih rajin mengurus kebutuhan sehari-hari seperti memasak, mencuci dan bersih-bersih di kosan.

Pernah suatu waktu menjelang akhir masa kuliah kami, Sonia bercerita. Dia kenal seorang laki-laki saat Kerja Praktek (KP) di PT. Epson Batam. Sebutlah namanya Dino. Mas Dino ini adalah karyawan PT. Epson Batam yang menjadi pembimbing KP. Tiap hari bertemu selama tiga bulan disana membuat benih-benih rasa suka diantara mereka. Setelah Sonia selesai KP, mas Dino masih sering telpon dan sms. Hingga Sonia memutuskan untuk menceritakan kepada orangtuanya. “Jika memang serius, datanglah ke rumah”, demikian pesan orangtuanya. Sonia pun menyampaikan hal tersebut kepada mas Dino. Ternyata respon mas Dino, dia belum siap ketemua orangtua Sonia, mas Dino pengennya mereka pendekatan dulu, komunikasi lewat telpon dan sms dulu. Wah seperti orang pacaran donk! Dengan halus Sonia memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka jika memang tidak jelas tujuannya.

Setelah lulus kuliah kami berpisah. Walaupun masing-masing sibuk dengan perjuangan mencari pekerjaan dan rencana masa depan, kami masih keep in touch via sms, telpon dan e-mail. Beberapa tahun kemudian saya mendapat kabar Sonia akan menikah, dengan laki-laki pilihan hatinya yang dia kenal selama menjadi management trainee di sebuah perusahaan swasta. Sayang saya tidak bisa hadir saat itu karena bentrok dengan jadwal cuti bersama adik-adik saya. Tapi dengan tulus saya mengirimkan doa sepenuh hati untuk sahabat saya ini, yang cantik paras dan hatinya. Dia sempat cerita melalu e-mail, bahwa prosesnya dengan sang calon suami tidak melalui pacaran, dari temenan hingga kesepakatan serius untuk menikah. Walaupun sempat ada sedikit hambatan dari keluarga calon suami yang masih belum familiar dengan wanita berhijab, namun karena Sonia dan calon suami sama-sama sudah sepakat, akhirnya keluarga luluh juga. Dari milis angkatan, saya melihat foto-foto pernikahan Sonia dan Roni, sang suami. Mereka terlihat bahagia dan serasi sekali, cantik dan tampan ujar saya dalam hati.

Dari awal saya kenal, Sonia tidak banyak berubah. Simple, istiqomah, tidak suka nonton film ke bioskop karena risih dengan film barat yang mengumbar aurat, tidak suka ikut-ikutan social network kayak Facebook karena lebih suka yang riil aja katanya. Setelah menikah, saya sempat ketemu dengan Sonia dan suaminya di Jakarta, saat saya hendak menghadiri pernikahan teman kantor. Mereka benar-benar pasangan yang serasi, kompak dan bahagia! Saat itu saya sempat ngobrol dengan Sonia. Dia selalu bisa memberikan nasihat yang sederhana namun menenangkan hati.

Hampir setahun saya tidak bertukar-kabar dengan Sonia, tiba-tiba kak Sarah nge-tag foto di Facebook. Ternyata Sonia sudah melahirkan, seorang putri yang cantik bernama Maura. Oia, kak Sarah sendiri sudah menikah dengan bang Dika, sesama dosen di almamater kami.

Saya memandangi foto cantik Maura, betapa hidup Sonia sekarang sudah jauh lebih bahagia dengan keluarga kecilnya. Sonia yang sederhana, yang teguh pada prinsip dan keyakinan, istiqomah di jalan-Nya, sudah berhasil melewati fase siklus kehidupan: lahir-besar-sekolah-kuliah-kerja-menikah-melahirkan-mengasuh anak. Pengalaman hidupnya telah banyak mengajarkan sejatinya keluarga yang bahagia; dimana saya saat ini hanya mampu belajar dari buku, seminar dan mendengar pengalaman hidup orang lain.

Ya, silaturahmi saya beberapa hari yang lalu ke rumah kontrakan Sonia di daerah Jakarta Selatan kembali mengetuk-ngetuk bilik hati saya. Kesederhanaan menyergap saya sejak mulai masuk gang ke rumah kontrakan Sonia dan suami. Masuk kedalam rumah, saya seperti merasakan kembali suasana rumah kos dulu waktu masih kuliah, dan juga rumah terakhir yang saya adik-adik tempati sebelum mamak meninggal.

Sonia dan suami masih terlihat sama saat terakhir saya bertemu mereka berdua, serasi, kompak dan bahagia. Hanya Sonia terlihat agak lelah, karena tiap malam harus terjaga karena menyusui dan mengganti popok Maura, katanya. Saya juga bertemu dengan mamanya Sonia, yang sudah empat bulan di Jakarta sambil menemani Maura di rumah saat Sonia dan suaminya bekerja. Mama masih cantik seperti dulu, hanya raut lelahnya berjuang hidup dan sisa-sisa perjuangan melawan stroke wajah beberapa tahun silam masih terlihat jelas. Mama yang dulu selalu riang bercerita, sekarang agak pendiam, mungkin karena sisa-sisa stroke yang membuat beberapa syaraf agak kurang nyaman jika digerakkan untuk berbicara.

Malam itu saya memutuskan menginap dirumah kontrakan Sonia. Awalnya saya agak ragu menyampaikan keinginan numpang nginap dirumah kontrakannya, khawatir jadi merepotkan. Tapi ternyata Sonia malah menawarkan menginap, tentu saja dengan senang hati saya terima. Bukan karena berpikir ingin mendapatkan tumpangan menginap gratis. Tapi bagi saya yang terbiasa tinggal di camp (asrama-red), dimana tiap orang tidur dikamar masing-masing dan jarang berinteraksi satu sama lain, bisa merasakan tidur dirumah itu rasanya bahagia sekali.

Kami makan malam bersama dengan menu rumahan, sayur bening wortel, lele sambel ijo dan ikan asam padeh. Ditutup dengan dessert kolak ubi, hmm....nikmatnya. Saya tidur di ruang depan bersama Mama, yang sekaligus merangkap ruang tamu dan ruang makan. Sonia, Roni dan Maura tidur di ruang belakang yang disulap jadi kamar dengan susunan lemari dan gorden. Saya langsung tertidur pulas, dan terbangun jam 2 pagi karena harus siap-siap berangkat ke bandara.

Sepanjang perjalanan pulang dari Jakarta – Balikpapan – Sangatta, saya banyak merenung dan belajar tentang keluarga bahagia dari Sonia dan Roni. Saya teringat kembali kepingan memori curhat saya bersama Sonia.

Sonia bercerita bagaimana prosesnya dengan suaminya hingga menikah. Dari awal, selama proses ta’aruf, mereka saling jujur dan terbuka satu sama lain. Semua hal yang penting dalam pernikahan selalu dibicarakan bersama dan disepakati bersama, misalnya tentang keuangan, rujukan saat konflik, rencana tempat tinggal, hal yang disukai dan tidak disukai, dan hal-hal yang dirasa penting lainnya. Bisa dibilang proses yang mereka lalui cepat dan jelas, namun tidak terburu-buru. Walaupun sempat dapat ganjalan dari orangtua Roni, tapi karena mereka berdua kompak menjelaskan dan meyakinkan kepada orangtua Roni, akhirnya khitbah, akad dan resepsi bisa berlangsung dengan lancar.

“Proses kami cepat banget”, ujar Sonia memulai cerita saat itu.

“Pas semasa MT (management trainee-red) kami ndak ada ngomong-ngomong (ngobrol-red), paling sekedar satu kelas bareng. Setelah terpisah sekian tahun, angkatan MT kami tetap keep in touch via e-mail. Kebetulan ada yang aku ingin tanyakan ke dia mengenai kerjaan, jadi aku e-mail dia. Trus dia nanya kabarku, aku juga tanya kabarnya. Basa-basi aku tanya dia kapan mau baralek (nikah-red), biar ntar kubantuin masak rendang”, Sonia tertawa renyah menceritakan kembali kisahnya.

“Roni bilang, dia udah pengen nikah, dia suka sama seseorang, trus dia sebut ciri-cirinya. Dengan pede-nya aja aku tanya balik, itu aku ya? Hahaha…”, Sonia kembali tertawa.

“Roni bilang iya, kamu mau ga? Aku tanya balik, kapan mau nikahnya? Roni jawab November tahun ini”

Sambil membenahi jilbabnya, Sonia melanjutkan ceritanya,

“Aku tidak langsung menjawab, tapi aku meminta waktu dua minggu kepada Roni. Selama dua minggu itu, aku bertanya banyak hal kepada Roni, tentang pandangannya terhadap sesuatu atau contoh kasus yang bisa menggambarkan cara dia menanggapi sesuatu. Aku juga sampaikan segala kekuranganku dan bertanya apa kekurangan dan karakternya yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah dua minggu aku jawab ajakan nikahnya Roni, aku tanya kapan dia mau melamarku. Roni bilang bulan Januari dia akan ke rumahku untuk berkenalan dengan keluargaku, kemudian bulan Mei lamaran dan bulan November nikah”, Sonia berhenti sejenak.

“Jelas sekali rencananya ya?”, ujarku.

“Iya, karena aku meminta rencana yang jelas dan detail dari dia. Selama masa ta’aruf itu, kami sudah membicarakan mengenai banyak hal…mau tinggal dimana, mau bina keluarga seperti apa, kalo bertengkar rujukannya kemana…akhirnya kami sepakat semuanya balik ke Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan kalo beda cara tentang sesuatu, itu penting sekali! Pas ta’aruf harus detail rencananya, jangan ampe ga jelas, ntar menunggu sia-sia jadinya”, Sonia dengan semangat menjelaskan kepadaku yang dengan khusyuk menyimak ceritanya.

“Insya Allah kalo sama-sama sepakat dengan rujukan Al Qur’an dan Hadist, jauh lebih gampang ntar. Soalnya fitrah kita tuh sesuai dengan isi Al Qur’an dan Hadist sebenernya”, Sonia menambahkan.

“Dulu Roni hobi nonton film di bioskop, gila belanja dan teman-temannya cewek-cewek semua. Selama dua minggu itu, aku tanya ke teman lain sifat-sifat dia. Teman yang bilang hal yang sama tentang gaya hidup Roni itu. Teman-teman malah balik bertanya, apakah aku akan sanggup dengan gaya hidup dia yang jauh berbeda? Namun, selama aku kenal dengan Roni, ada kelebihannya yang aku perhatikan, yaitu sholatnya terjaga dan rendah hati serta perhatian ke agama. Akhirnya aku tekankan ke Roni, aku tidak suka nonton ke bioskop apalagi film barat yang mengumbar aurat serta pemborosan waktu, dan ternyata Roni setuju dengan permintaanku. Begitu juga dengan uang belanja, seluruhnya tanggungjawab suami, uang istri tidak disentuh kecuali kalo kepepet. Juga masalah teman-teman wanitanya, aku meminta Roni membatasi pergaulan yang terlalu akrab karena hukum khalwat dan ikhtilat dalam Islam. Alhamdulillah, Roni bisa menyetujui permintaanku itu. Kalo sama-sama sepakat dengan rujukan agama, insya Allah akan mudah…sampai sekarang Roni masih bertahan dengan komitmennya dulu, Alhamdulillah….”, Sonia tersenyum.

“Kalo kita nikahnya dengan dasar menjalankan agama, insya Allah bahagia. Meskipun pasangan kita tidak sebaik yang kita harapkan, tapi kalo sama-sama mau berpegang pada agama, akhirnya bathin kita dan pasangan juga akan menyatu. Soalnya fitrah kita sebagai wanita, selalu menuntut suami bisa menjalankan agama dengan baik. Kalo ga, bisa makan hati ntar. Karena wanita ini sensitif, sementara laki-laki cenderung pake logika. Tapi kalo suami tau agama dan patuh, mereka akan mengerti konsep bahwa orang-orang terbaik diantara kamu adalah yang paling baik memperlakukan keluarganya”, imbuhnya sambil menyitir salah satu hadist Rasulullah SAW.

“Akhlak pasangan, visi dan misi yang sejalan itu penting dalam pernikahan. Ntar kita dituntut jadi istri sholehah, ya bakalan sulit kalo suaminya bukan suami sholeh juga. Kecuali benar-benar wanita penyabar yang ridho dan kita belum sampai disitu kayaknya hehehe”, Sonia terkekeh.

“Dalam pernikahan, uang itu memang penting. Tapi pentingnya uang itu, sebanyak memenuhi kebutuhan hidup, dan kebutuhan hidup itu tergantung gaya hidup kita juga loh…Tampang ganteng sama sekali ga penting, yang normal dan wajar ajalah. Kalo dah serumah, jelek-jeleknya kita akan sama-sama keliatan kok dua-duanya hehehe….jadi udah ga merhatiin lagi ganteng ato ga, cantik ato ga, karena udah saling menyayangi”

Sonia menangkap tatapanku yang penuh harap saat mendengar dia bercerita,

“Insya Allah ada jodoh Gadis….sabar aja….yang penting usaha. Gadis udah memilih jalan yang benar dengan tidak pacaran, semoga Allah membalas niat baik Gadis, karena itu demi membangun keluarga Islami juga kan?”, Sonia menatapku sambil tersenyum.

“iya, aku yakin jodoh tidak akan tertukar. Tinggal gimana cara menjemputnya, mau dengan cara yang halal atau haram, akan beda berkahnya…gitu kan?”, ujarku membalas senyum Sonia.

Note: nama asli tokoh dalam kisah ini disamarkan, demi menjaga privasi.